Cerpen Perempuan Yang Kuminta Dari Tuhan Bagian 2
Malam pun kelam seperti mengerti
Dua hati gagal bersatu
Sunyi disini menjadi saksi
Dari perpisahan kita
Anak manusia tertunduk pilu
Atas duka yang ada.
_Conny Dio – Bulan Merah_
Alunan lagu Conny Dio yang bertajuk Bulan Merah membawa kami menjelajahi
masalalu. Dan Aceng adalah saksi bahwa aku pernah benar-benar patah hati. Lagu
yang baru saja diputar benar-benar merepresentasikan betapa merahnya bulan yang
pernah aku lalui.
Aku mengecilkan volume pemutar lagu. Sedangkan Aceng tetap fokus mengemudi.
“Kau ingat Laila Ceng?”
“Bagaimana aku bisa lupa Cok? Satu-satunya perempuan yang bisa membuatmu
menangis.” Aceng tertawa terbahak. “Aku ingat betul kau menelponku. Hanya
tangis yang kudengar. Sayangnya aku tak bisa melihat raut wajahmu. Ah, pasti
sangat menyedihkan sekaligus menggelikan.”
Kami berdua tertawa terbahak mengingat kejadian itu. Hal konyol yang pernah
membuatku menangis itu jadi bahan tertawaan kami.
“Lagu ini cocok banget Ceng.” Aku membesarkan kembali volume pemutar musik
dan melafalkan lirik mengikuti perempuan rocker itu.
Aku punya kekasih dari sebrang yang
bernama Laila. Sebenarnya dia masih famili. Ibunya adalah kakak sepupuku.
Saking jauhnya kami memang tak pernah bertemu sekalipun. Pertama kali aku
bertemu dengannya ketika hari Raya tiga tahun lalu di kampung. Itu adalah kali
pertama dia pulang ke kampung. Wajahnya sangat mirip dengan Mama sewaktu muda.
Ya, bagaimanapun juga kami masih satu keturunan. Kalau disamakan dengan artis
Laila dan Mama mirip Yessi Gusman saat memainkan film “Gita Cinta dari SMA”
bersama Rano Karno.
Kali pertama bertemu kami mengakrabkan diri sebagai saudara. Saling
menanyakan hal-hal yang lumrah sebagai seorang yang baru saling mengenal. Saat
itu Laila masih kuliah semester 2 Jurusan Matematika. Umurnya denganku tidak
terpaut jauh. Hanya selang 4 tahun. Perawakannya tidak perlu dijelaskan ya,
search saja Yessi Gusman Muda.
Aku memberanikan diri mengajaknya untuk bertamasya, mumpung lagi dikampung
dan hari Raya pun sudah biasa menjadi momen tamasya. Tanpa ragu Laila bersedia
pergi denganku. Ah, aku yang sedang jomblo saat itu tentu saja merasa senang. Walapun
dia bersedia karena menganggap aku adalah pamannya.
Kami pergi ke daerah pegunungan yang ada permainan Out Bondnya. Si Banteng
Besi yang kupinjam dari sepupuku membawa kami menuju bahagia. Laju roda dua itu
sengaja kupelankan agar kami lebih lama di perjalanan. Padahal biasanya aku
paling suka kebut-kebutan. Sampai pernah satu waktu saat SMA aku menabrak
tukang bakpau.
Laila terlihat sangat senang sekali. Dia bilang ini kali pertamanya bermotor
ke pegunungan. Sepanjang perjalanan ia seringkali berdiri di jok belakang
merentangkan tangannya menghirup udara pegunungan yang sejuk. Di daerahnya
tidak ada pegunungan. Kontur tanahnya datar dan rata. Jadi ini hal baru bagi
Laila. Aku semakin semangat dibalik kemudi si Banteng Besi.
Kami memainkan berbagai permainan out door. Laila menantangku untuk mencoba
permainan yang menguji adrenalin. Rupanya Laila sangat suka dengan uji nyali.
Ah, tentu saja aku berlagak pura-pura berani. Padahal kakiku gemetar usai
bermain. Hari itu adalah milik kami. Sepasang muda-mudi yang desang dimabuk
asmara. Padahal mungkin hanya aku saja. Laila tidak merasakan hal yang sama.
Sayangnya Laila tidak bisa berlama-lama di kampung. Dia harus kembali ke
kota asalnya. Sebelum dia kembali aku mengatakan bahwa aku suka padanya. Dan
memintanya untuk menjadi kekasihku. Rautnya wajahnya berubah setelah mendengar
pernyataanku. Sikapnya tiba-tiba berubah. Ah, ini memang terlalu cepat. Tapi
apa boleh buat.
Setiap hari aku selalu mengiriminya pesan. Menanyakan kabarnya dan mengiriminya
beberapa bait puisi. Jangankan merespon, membalas pun tidak.
Sebulan berlalu, semua pesanku tak pernah mendapat balasan darinya.
Saat itu aku sedang menjalankan KKN dari kampus di sebuah perkampungan daerah
Bogor. Aceng ikut kegiatan itu selama satu bulan penuh. Meskipun dia bukan
mahasiswa di kampusku tapi dia selalu ikut aku kemanapun aku pergi. Tentunya
atas perstujuan anggota yang lain Aceng boleh ikut. Aku pun sudah meminta izin
pada dosen pembimbing KKN dengan dalih supaya ada yang bantu untuk
pekerjaan-pekerjaan berat.
Suatu malam aku, Aceng dan dua anggota KKN lain sedang berkunjung ke rumah
Pak Lurah untuk membicarakan program yang akan kami laksanakan di Desa itu.
Kami disuguhi kopi pahit cap mobil antiknya Babeh Sabeni di serial Si Doel Anak
Sekolahan. Kopi murah yang mampu menyatukan warga sekitar. Tawaran basa-basi
ngopi menjadi suatu simbol pemersatu dikampung ini.
Secangkir kopi yang semua pun tahu itu bukan kopi yang nikmat, tapi
perannya begitu sakral dalam kehidupan sehari-hari. Malam itu kami berhasil
menggenapkan cangkir kopi yang kami minum dari pagi berjumlah 8. Setiap kami
berkunjung ke rumah RT dan RW kami selalu disuguhi kopi sebelum kami bisa
menolak.
“Lama-lama kita bisa jadi pecandu kopi Cok.” Dalam perjalanan pulang dari
rumah pak Lurah, Aceng terus menghitung berapa banyak gelas kopi yang sudah
diminumnya sejak hari pertama kedatangan kami di kampung ini.
“Ya, biarlah asal jangan jadi pecandu cinta saja. Cukup kopi ini saja yang
pahit. Kehidupan kita jangan.” Jawabku terkekeh. Aku merenungkan kalimat yang
baru saja ku ucapkan. Dalam benakku aku berkata “Ah bicara tentang kopi, sama
saja dengan bicara tentangmu Laila. Sama-sama tentang menikmati pahit yang
disengaja.”
Tiba-tiba suara ponselku berdenting.
Triing...
Segera aku mengambilnya dari dalam saku celanaku yang sudah lusuh sebab
dari pagi belum ganti. Aku melihat pesan masuk dengan nama ‘Laila’.
“Assalamu’alaikum Mang, apa kabar?”
Bukan main girangnya aku. Buru-buru kuperlihatkan pada Aceng. Dia sama
terkejutnya. Sebulan mengiriminya pesan dan baru malam itu Laila membalasnya.
Pesan singkat dari Laila malam itu membuat kopi cap oplet yang biasa kami
nikmati bergelas-gelas setiap hari menjadi terasa lebih manis dan lebih nikmati
dari biasanya. Setiap saat kami berbalas pesan.
Malam itu bulan tengah mencapai puncak purnama. Secangkir kopi cap oplet
dan bulan yang sedang bulat-bulatnya menemaniku merayakan bahagia. Di balkon
lantai dua posko KKN kutelpon Laila. Kutanyakan padanya mengapa. Katanya, sudah
tiga kali dia bermimpi tentangku. Aku selalu datang dalam tidurnya, mengenakan
baju putih-putih dan berusaha menggapai tangannya. Cahaya menyeruak dan ada
kehangatan saat tanganku diraihnya. Itulah jawaban Laila yang menjadi alasan
dia bersedia menjadi kekasihku. Ah, betapa nikmarnya kopiku malam itu dan
betapa indahnya bulan yang sedang kupandangi.
Bersambung....
Post a Comment