Senja di Atap Genteng Bagian 2 (Diary Seorang Santri)
Senja di Atap Genteng Bagian 2 (Diary Seorang Santri)
Setiap 6 bulan sekali ruang kamar kami
berubah. Dan orang-orangnya pun berubah. Tak beruntung, aku dipisahkan dari
Ical. Ia menghuni kamar 15 sedangkan aku kamar 6. Walau masih satu gedung tapi
berat mulanya terpisah dari teman terdekat. Seperti kata pepatah “Perpisahan,
memberi jalan pada pertemuan baru” aku dipertemukan dengan seorang roman
picisan penggila novel. Rupanya dia jauh lebih gila daripada ical. Buku-buku
yang sering ia bawa lebih besar dan lebih tebal dari yang biasa dibeli ical.
Saking terlalu tebalnya aku kadang malas untuk sekedar meminjamnya. Adalah
Dirman, nama panjangnya Sudirman. Ia adalah kaka tingkat kami. Aku dikelas 1
SMP sedang ia kelas 3 SMA. Tak hanya senang membaca Kak Dirman rupanya senang
menulis puisi. Seringkali aku iseng membuka Note Bindernya dan menemukan banyak
coretan-coretan layaknya orang tengah diracun asmara. Jika Ical mengenalkanku
pada Novel maka Kak Dirman mengenalkanku pada Puisi. Katanya “puisi adalah
perpanjangan dari rasa yang tak sempat diucapkan kata”.
Beberapa bulan tinggal sekamar kami
pun menjadi lebih akrab. Dia sering memberikan beberapa petuah tentang asmara.
Walaupun aku tak mengerti, tapi penjelasannya mudah dipahami. Gaya bicaranya
enak. Ia sudah kuanggap seperti kakak ku sendiri. Tak hanya tentang puisi ia
juga menjadi tempat bertanyaku tentang pelajaran-pelajaran yang sulit
kumengerti. Dalam satu semester setidaknya ada 18 mata pelajaran yang kami
ampu. Dan Kak Dirman adalah bintang kelas. Pantaslah jika semua penjelasan
darinya membuatku bertambah pintar.
6 bulan menabung dari sisa uang
jajanku yang tak seberapa aku berhasil membeli sebuah novel berjudul “Kerudung
Merah Kirmidzi” Karya Novelis Terkenal pada masa itu Habiburahman El-Shirazy.
Buku dengan tebal 516 halaman yang kubeli dengan harga 75 ribu. Harga yang
bahkan melebihi uang bulananku. Dihari itu lah aku bertemu dengan seseorang.
Ya, seseorang yang kutemui di ujung September 17 tahun silam.
“itu buku bagus! meski tak seterkenal
“Ayat-ayat Cinta”
Suara seorang gadis tiba-tiba nyeletuk
saat kupegang dan kubaca cover belakang buku itu. senyum yang tersimpul tipis
diwajahnya saat aku menoleh mencari tahu sumber suara indah itu.
“hehehe, maaf tidak sopan menimpali”
“ooh, tak apa. Terimakasih sudah
memberi tahu”
“Perkenalkan, namaku Septiana.
Panggil saja Anna”
Tanpa basa-basi gadis itu
memperkenalkan namanya. Ya, Septiana. Di bulan September yang kurasa adalah
bulan kelahirannya.
“eh, namaku Musa”
Lagi-lagi Buku mempertemukanku dengan
seorang yang lain. Seorang yang memberikan beberapa episode baru dalam hidupku.
“jadi kau akan membelinya kan?”
“tentu saja”
“buku apa yang kau beli?”
“Milana, Perempuan yang menanti
Senja. ini kumcer, Bernard Batubara penulisnya. Aku tak tahu buku ini bagus
atau tidak. Tapi aku sangat suka dengan senja.”
“ooh, tak sedikit para penulis yang
mengambil tema senja”
“yup, betul. By the way, kau punya
buku tentang senja?”
“tidak, heheh. Ini buku pertamaku.
Cuma aku pernah baca novel berjudul Senja karya mba Pipiet Senja.”
Setelah membayar buku yang kami beli.
Percakapan tak berhenti ditoko buku itu saja. banyak hal tentang novel yang
kami bicarakan. Membuat kami seolah-olah sudah kenal lama. Jalan yang berbeda
dan angkot yang berbeda yang menyudahi pembicaraan itu. sebelum kami berpisah.
Kami sepakat untuk bertemu lagi ditoko buku itu jum’at depan. Ya, hari jum’at. Hari libur sekolah. Aku tak
tahu apakah dia memang libur juga dihari jum’at atau bergegas pergi ke toko
buku sepulang sekolah. Belakangan aku tahu, ternyata kita sama-sama libur
dihari jum’at. Meski beda sekolah kenyataanya sama-sama pesantren yang libur
dihari jum’at.
Aku tak sabar, ingin segera bertemu
dengan jum’at berikutnya. Bukan untuk kembali membeli buku. Tapi untuk bertemu
dengannya saja dan berbincang tentang buku-buku novel. Ah, terimakasih cal.
Sepertinya Tuhan mempertemukanku dengannya melaui jalanmu.
Tiba di hari yang dijanjikan. Aku tak
menemukannya sampai waktu izin untuk keluar hampir habis. Hampir setiap jum’at
aku pergi ke toko buku itu. tetap tak kutemui. Kecewa, jelas. Andai saja saat
itu sudah marak telepon genggam, mungkin aku tak akan harap cemas menanti
pertemuan itu kembali. Tapi aku tahu, ini bukan sinetron yang akan selalu indah
dan berjalan sesuai sutradara. Cukuplah Tuhan saja yang menjalankan ceritaku
dengan scenario terbaiknya.
Jum’at bulan ke lima sejak pertemuan
pertama itu aku tak kunjung menemukannya. Setiap selasar rak aku periksa.
Sampai-sampai aku merasa beberapa petugas toko buku itu seringkali tertangkap
sedang memperhatikanku atau bahkan mungkin membicarakanku dibelakang. Bagaimana
tidak, setiap jum’at aku datang tapi tak pernah membeli buku. Hanya sesekalinya
saja saat pertemuan itu. yang kulakukan setiap jum’at hanya melihat-lihat
beberapa buku dan memeriksi selasar rak. Terkadang aku hanya terdiam di depan
kaca besar toko yang menghadap ke jalan.
Aku hampir menyerah.
Entah jum’at yang keberapa dan tak
pernah terlewat setiap minggunya. Aku tetap datang. Kali ini aku tak memeriksa
selasar rak buku. Hanya satu rak saja berlabel “fiksi” dan kembali ke kaca
besar. Lamat-lamat kuperhatikan sebrang jalan. Berderet pedagang kaki lima
dengan tenda-tenda dan meja dagangan di trotoar jalan. Berebut ruang dengan
para pejalan kaki yang berlalu lalang. Sesekali ada orang berhenti. Mungkin
bertanya harga dan berniat membeli. Ada pedagang kaos kaki dengan bandrol 5
ribu / 3 pasang. Tukang arloji dan beberapa tukang jajanan yang memenuhi
selasar trotoar. Yang kubayangkan setiap kali kupandangi jalanan itu adalah
dia.
Satu tahun berlalu. Aku tak pernah
datang lagi ke toko buku itu. aku benar-benar sudah menyerah. Semua perasaan
dan rindu ingin jumpa kutumpahkan pada tulisan. Aku teringat kata” kak Dirman
“Puisi adalah perpanjangan dari rasa yang tak sempat di ucapkan kata”. Ya,
menulis menjadi jalanku menabung rindu. Meski tak pernah bisa membeli temu. Sejak
saat itu aku mulai menulis puisi dan beberapa kali menulis cerpen.
“Mus, sepertinya kau harus ikut ini?”
“apa Cal?”
“lomba menulis cerpen kawan. Kulihat
kau sering menulis gak ada salahnya kau coba ikut lomba”
Dia menyerahkan selebaran kertas yang
entah dapat darimana. Bupati baru yang mengadakan lomba itu. ya, masa itu wakil
bupati kami adalah seorang Artis kawakan. Tentunya dia pun sangat menyukai
seni.
“lumayan mus, juara pertama hadiahnya
1 juta”.
“kenapa tak kau saja cal yang ikut?”
“ah, kau kan tahu aku Cuma suka baca,
aku tak pandai menulis Mus.”
“Batas pengumpulan cerpennya tinggal
3 hari lagi cal. Aku tak yakin bisa terkejar”.
“kau kan punya beberapa cerpen yang
pernah kau tulis, lagipula temanya bebas”
“iya juga”.
“Sudahlah, kau siapkan saja tulisan
kau. Besok aku akan mintakan izin untuk keluar dan mendaftar”.
“yasudah, kau urus izinnya, aku urus
cerpennya cal”.
“serahkan pada ahlinya”.
Ical terkenal dekat dengan para
pengurus asrama, meminta izin keluar untuk hal yang positif bukan suatu hal
yang sulit baginya, meski bukan di hari libur. Ada 3 cerpen yang telah ku
tulis. Tapi aku memilih satu yang berjudul “Kertas Biru”.
Bersambung. . . . .
Post a Comment