Aspek Ontologis Pemikiran Sejarah Kritis Ibnu Chaldun
Aspek Ontologis Pemikiran Sejarah Kritis Ibnu Chaldun
Istilah sejarah berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa “sejarah” setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini, menyangkut tentang, antara lain, syajarah al nasab , pohon gencologis yang dalam masa sekarang agaknya bias disebut “sejarah keluarga” (family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti “to happen”, “to occur” dan “to develop”. Tetapi selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (arab), istoria (Yunani), history (Inggris), geschiedenis (Belanda) atau gescichte (Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian yang menyangkut manusia dimasa silam.
Dalam hal ini untuk mencari pengertian sejarah menurut Ibnu Khaldun, disini akan dikemukakan beberapa ungkapan Ibnu Khaldun seperti tertera dalam al- Muqaddimah:
Pertama : “ Sesungguhnya fann al-tarikh itu termasuk salah satu fann dimana bangsa-bangsa dan generasi-generasi bergiliran tangan mempelajarinya. Dipersiapkan berbagai kendaraan dan banyak perjalanan untuk keperluan sejarah. Orang-orang pasar dan orang-orang lalai memiliki aspirasi yang tinggi untuk mengetahuinya. Para raja dan kepala suku berlomba-lomba memahami sejarah. Antara orang-orang berilmu dan orang-orang bodoh memiliki kadar pengetahuan yang sama tentang sejarah. Karena pada sisi lahirnya sejarah itu tidak lebih dari sekedar berita tentang peristiwa-peristiwa politik, Negara-negara dan kejadian-kejadian masa lampau. Ia tampil dengan berbagai bentuk ungkapan dan perumpamaan. Pada pinggir tempat-tempat pertemuan, peristiwa-peristiwa itu dituturkan sebagai jamuan. Peristiwa-peristiwa itu mengajak kita untuk memahami masalah kejadian alam, bagaimana situasi dan
kondisi membentuk perubahan, bagaimana Negara-negara memperluas wilayahnya dan bagaimana mereka memakmurkan bumi sehingga terpanggil untuk melakukan perjalanan jauh hingga akhirnya tiba waktu mereka lenyap (dari panggung sejarah). Sedangkan pada sisi batinnya sejarah itu mengandung penalaran kritis (nazhar) dan usaha mencari kebenaran (tahqiq); keterangan mendalam tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, sejarah berakar dalam dan dipandang sebagai bagian dari hikmah (filsafat)”.
Kedua : “ketahuilah bahwa sesungguhnya fann al-tarikh itu merupakan fann yang memiliki metode (mazhab) yang berharga, banyak faedahnya dan mulai tujuannya. Fann al-tarikh dapat memberitahukan kepada kita hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam prilakunya. Fann al-tarikh juga membuat kita paham tentang biografi para nabi, Negara-negara serta kebijakan para raja”.
Ketiga : “ ketahuilah bahwa hakikat tarikh adalah berita tentang komunitas manusia (al-ijtima’ al-insani). Tarikh identik dengan peradaban dunia yang mencakup; perubahan watak peradaban seperti keliaran, keramahatamahan dan solidaritas golongan (‘ashabiyyah); mencakup pemberontakan sebagian manusia atas sebagian yang lain dan akibat yang ditimbulkannya seperti berdirinya kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai tingkatannya; mencakup kegiatan dan kedudukan manusia, baik dalam mencapai penghidupannya maupun ilmu pengetahuan dan pertukangan. Pada umumnya, tarikh mencakup segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fann al-tarikh berarti penerapan tentang teori-teori rekaman peristiwa masa lalu melalui metode sejarah. Pengertian ini secara hermeneutis dalam persepektif ilmu sejarah lebih mendekati kepada pengertian historiografi. Fann al-Tarikh dalam pandangan Ibnu Khaldun mengandung dua pemahaman, yaitu luar dan dalam. Sejarah pada sisi luarnya tidak lebih dari sekedar berita tentang masa lalu. Sejarah pada sisi ini hanya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan dengan “apa, siapa, kapan” dan “dimana” peristiwa itu terjadi. Keempat pertanyaan ini memang merupakan hal pertama yang dipermasalahkan sejarawan untuk menentukan sebuah peristiwa atau event. Dengan hanya menjawab empat pertanyaan ini adalah logis apabila Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa antara kaum terpelajar dan bukan terpelajar memiliki kadar yang sama dalam memahami sejarah pada sisi luarnya. Dalam konteks kekinian, memahami sejarah hanya pada sisi luarnya disebut dengan sejarah naratif (narrative history). Sejarah naratif hanya berusaha melihat fakta historis sebagai suatu rangkaian data yang dapat berbicara atau dengan istilah lain sebagai a story that told.
baca Juga: Objek dan hukum-Hukum Sejarah Menurut Ibnu Khaldun
Post a Comment