Header Ads

SENJA DI ATAP GENTENG BAGIAN 4 (DIARY SEORANG SANTRI)

SENJA DI ATAP GENTENG BAGIAN 4 (DIARY SEORANG SANTRI)

SENJA DI ATAP GENTENG BAGIAN 4 (DIARY SEORANG SANTRI)


Sejak pertemuan kedua setelah perlombaan itu, aku dan gadis pemilik senyum manis itu jadi sering bertemu. Bahkan terlampau sering. Saat itu aku tak mengerti cinta. Aku tak mengerti perasaan apa yang singgah dihati. Sekalipun banyak kubaca literatur tentang cinta dari berbagai Novel yang kupinjam dari Ical. Tetap saja aku tak mampu mendeskripsikannya. Yang kurasa saat itu adalah aku ingin terus bersamanya. Aku tak ingin pertemuan di setiap jum’at itu terhenti.

Siang itu usai shalat jum’at aku bergegas. Merapikan baju koko abu-abu bekas bapak ku, hadiah dari pedagang dipasar tempat Ibu berbelanja dagangan untuk kantin. Masih setia dengan sarung lusuh bertuliskan Sarung Tenun Samarinda.

“kau hendak kemana mus?”

Ahmad datang ke ruangan kamarku yang sekarang bertuliskan No. 2 dimuka pintu. Ahmad dan Bayu menghuni ruang No. 1 tepat di depan ruanganku. Sedang Ical menenmpati ruang 23 di gedung yang berbeda.

“eh mat, aku akan kekota”

“lagi mus? dua tahun terakhir setiap jum’at kau selalu pergi ke kota. Apa yang sebenarnya kau lakukan disana mus?”

“taka da mat, hanya melihat-lihat buku saja”

“kau bahkan tak pernah mengajak seorangpun untuk menemanimu mus.”

Aku tak tahu rupanya Ahmad memperhatikanku selama ini. Aku hanya membalas dengan senyum kecil. Dan beranjak pergi setelah kusalami. Menyisakan banyak Tanya di pikiran ahmad, aku tak peduli. Memang hanya Ical yang tahu tentang Anna. Sengaja kuminta dia untuk tak memberitahu siapapun. Bisa gawat kalau-kalau berita itu tersebar dan sampai ke pengurus asrama. Mungkin aku akan dikenakan hukuman seperti mereka-mereka yang kedapatan bertemu dengan kekasihnya dihari libur itu. ah lagi pula Aku dan Anna bukan sepasang kekasih. Kamipun berbeda sekolah. Lain halnya dengan mereka. Hal yang dilarang disekolah kami.

Tentu saja, namanya juga pesantren berasrama. Siswa putra dan putri dipisahkan. Oleh benteng tinggi menjulan dan jalan besar. Mereka yang nekat berkasih satu sama lain sering saling mengirimi surat dan bertemu di hari jum’at itu. sama seperti yang setiap jum’at kulakukan. Perbedaanya mereka sepasang kekasih. Dan aku. Tentu saja bukan.

Meski kuakui ada perasaan aneh saat bersamanya. Tapi selama itu aku tak pernah bicara perihal itu padanya. Kurasa, seperti ini cukup bagiku. Asal setiap jum’at bertemu. Meski tak setiap jum’at juga. Itu cukup adil untuk hatiku. Ah andai saja Kak Dirman masih ada. Mungkin dia akan menjadi tempatku menabung rindu tentangnya. Berbeda dengan Ical yang tak peduli dengan Percintaan tentunya Kak Dirman lebih paham dan berpengalaman.

Angkot berwarna kopi susu berangka 4 di persimpangan jalan menjadi pengantar setiaku menjemput rindu. Angkot itu berhenti di alun-alun kota. Dan untuk sampai ke toko buku aku harus berjalan sekitar 15 menit menyasar jalanan padat penuh pedagang kaki lima disepanjang trotoar.

“selamat siang, janjian lagi dek?”

“iya kak, hehehe?”

Penjaga toko rupanya sudah hafal benar denganku yang hanya membeli buku 4-6 bulan sekali tapi datang kesana setiap jum’at siang. Dia terkekeh dan beralu kembali merapikan buku-buku di beberapa rak. Roslina, itu nama yang tertempel di dada kanan penjaga toko itu. Perawakan kurus, tak terlalu pendek pun tak terlalu tinggi. Cukup proposional. Wajah asli priangan punya senyum yang khas. Dan tahi lalat di hidung kirinya memberi kesan manis bagi pemiliknya.

Enam kali jum’at Anna masih datang ke toko buku itu. ya, hanya itulah tempat kami bertemu selama ini. Tapi siang itu jum’at ke Tujuh setelah pertemuan kedua dia tak datang. Tak apa, aku sudah tak pernah kecewa lagi sejak setahun silam menantinya setiap jum’at. Kuputuskan pulang, kubeli sebuah buku berjudul La Tansa Male Caffe. Roslina tersenyum melayaniku di meja kasir. Belum sebulan aku sudah membeli buku. Hal yang jarang terjadi pikirnya mungkin.

“terimakasih kak Ros!”

“Lina, panggil aku Kak Lina”

“hehe, baiklah Kak Roslina”

Ia mendelik, meyodorkan kembalian beserta struk pembelian. Lalu kembali tersenyum.

“Sampai bertemu jum’at depan Pemuda Penunggu Jum’at.”

Ia melambaikan tangan mengiringi langkahku keluar menuju pintu toko. Aku membalas lambaian tangannya. Dan bergegas.

Sesampai di asrama aku tak langsung ke kamar. Aku melewati gerbang asrama gedung A menuju atap ruang makan tempatku menjemur pakaian yang kadang hilang beberapa jika aku punya kaos bagus pemberian sepupuku di Jakarta. Pasti raib dijemuran. Hal yang lumrah terjadi di asrama. Bahkan pernah suatu ketika lemariku ada yang membongkar. Entah siapa pelakunya. Beberapa barang hilang. Untunglah bukan buku-buku ku yang tak seberapa banyak yang hilang. Mungkin pencuri itu tak suka membaca.

Diatap kulihat seorang tengah berbaring diantara susunan genteng dibangunan sebelahnya. Andri, dia adalah kaka kelas berbeda satu tingkat denganku. Aku kelas 3 SMP dan dia Kelas 2 SMA. Aku tak menyapanya. Sepertinya dia sedang asik memandang langit. Entah apa yang tengah dia lamunkan.

Aku menghampiri jemuranku langkahku terhenti ketika Andri memanggilku.

“Mus, kemari. Simpan dulu jemuranmu disitu. Mereka tak akan lapuk dibiarkan beberapa jam kedepan.”

Diasrama kami semua saling mengenal. Setidaknya mengenal nama dan rupa. Meski tak mengenal dekat semuanya. Tentu saja dia tahu namaku. Begitupun aku.

“apa yang kau lakukan tiap jum’at dikota?”

Aku heran, kenapa dia bertanya seperti itu. pertanyaan yang sama yang dilontarkan ahmad siang tadi.

“beli buku kak”

Sambil kuperlihatkan sampul buku yang kutenteng tanpa kantong plastic. Sengaja aku meminta Roslina untuk tak memberiku kantong plastic. Hemat kataku padanya.

“ya, aku tahu kau selalu pergi kesana. Tapi beberapa kali kulihat kau berduaan bersama perempuan”

Aku dibuat kaget oleh kalimatnya. Ternyata dia Tahu, berbeda dengan Ahmad yang jarang pergi dihari libur. Andri adalah sosok yang popular disekolah. Pasalnya dia jago sekali bela diri. Kelincahannya saat meloncat dan atraksi jurus-jurusnya yang dipertontonkan saat kenaikan kelas membuat Namanya terkenal di kalangan Siswa Putri. Ya, hanya saat kenaikan kelas saja putra dan putri disatukan di satu lapangan. Meskipun tetap dipisahkan kain hijau panjang yang membentang membelah tenda. Tapi untuk orang-orang yang maju ke panggung pertunjukan pasti dikenal dan dilihat kedua makhluk ini. Dua makhluk yang dipisahkan ruang dan disatukan setaun sekali hanya saat kenaikan kelas. Dengan kepopulernnya itu tentu saja membuatnya memiliki kekasih dan bisa pergi bertemu tiap jum’at di kota.

“iya ka” aku tertunduk malu.

“hahaha, tak usah tegang gitu Mus. Santai sajalah. Sini mendekat, duduk disampingku”

Dia terbangun dari pembaringannya diatas susunan genteng dan duduk menangkup lutut. Aku pun menurutinya dan duduk disebelahnya.

Andri membuka dompet kulit hitamnya dan memperlihatkan foto seorang gadis cantic. Bahkan kurasa lebih cantic dari Anna. Gadis yang selama ini kunanti disetiap Jum’at.

“namanya Isti mus. Cantic bukan?”

“Cantik ka.”

Entah angin apa yang membuatnya menceritakan tentang Isti padaku. Padahal sebelumnya jangankan berbincang. Bertegur sapa pun tak pernah. Ah, mungkin suasana hatinya sedang ingin meracau dan butuh pendengar. Kurasa deretan genteng dan langit sore tak mengindahkan curhatannya. Baiklah, akupun memutuskan untuk menjadi pendengarnya dan menemaninya sampai senja menguning di ujung menara masjid besar itu.

“lalu siapa gadis yang sering kau temui di toko buku itu?”

Andri berenti bercerita tentang Isti dan balik bertanya tentang Anna.

“Namanya Anna ka. Aku bertemu dengannya 2 tahun yang lalu di toko itu. setiap jum’at aku selalu menemuinya disana. Meski terkadang dia tak datang”

“Hahaha, bodoh kau mus!”

Aku menggaruk kepala yang tak gatal mencoba mencerna kata bodoh yang baru saja dia lontarkan.

“Gadis lain banyak mus. Kenapa kau malah menghabiskan jum’atmu hanya untuk menunggunya?”

Aku menggeleng dan mengangkat bahu.

Diujung senja diatap deretan genteng itu pun berlalu. Menara yang tadi masih bisa kulihat jelas kini hanya menyisakan siluet pertanda hari akan segera berakhir.

Pembicaraan diatas genteng itu pun tak hanya menjadi pertama dan terakhir. Tapi jadi pembuka persahabatan kami. Kamipun jadi sering menghabiskan waktu bersama diatap itu menunggu senja berlalu. Setidaknya rinduku pada Jum’at sedikit teralihkan.

Jum’at demi jum’at terlewati. Hanya sekali saja aku menemuinya. Dan ini entah jum’at keberapa aku menunggu. Sampai akhirnya ia datang. Tak banyak yang ia bicarakan. Bahkan tak sampai 30 menit hari itu ia menemaniku. Tidak seperti biasanya. Sebelum berpamitan ia menyodorkan sepucuk surat beramplop biru. Ia bilang untuk membukanya jika telah berpisah. Aku mengiyakan dan memasukannya ke saku kemeja orange berlist putih yang kukenakan siang itu.

“Sampai jumpa mus.”

Lambaian tangan di perempatan jalan. Tak kusangka itu adalah lambaian terakhir dan senyum terakhir yang kudapati di tahun itu. aku tak menyadari bahwa itu adalah perpisahan. Kuanggap seperti biasanya. Seperti jum’at jum’at lainnya.

Dengan jantung berdebar kubuka amplop biru itu. 2 lembar surat terselip didalamnya. Deretan atap genteng ini akan menjadi saksi bisu isi surat itu.


bersambung. . . . .


No comments