Cerpen | Perempuan yang kuminta dari Tuhan Bagian 1
“Perempuan yang kuminta dari Tuhan”
24 Februari
2016.
Pagi di sebuah rumah adat sunda Parahu
Kumureb di pinggiran kota Cianjur. Rumah itu adalah tempat tinggal
sahabatku Aceng beserta
Bapak dan Ibunya. Pemandangannya sangat asri. Disamping kanannya tumbuh
berbagai pohon besar yang aku pun tak tahu nama-namanya. Sebelah kiri rumah ada
sebuah saung yang berdiri diatas sungai kecil dengan air yang cukup deras
mengalir. Air di sungai itu sangat jernih dan bersih, tentu saja berbeda sekali
dengan kebanyakan sungai di kota. Di belakang rumah ditanami ketela pohon
dengan daun-daunnya yang gomplok rimbun
berumpak-umpak. Pekarangan depan berjejer rapi pot yang diisi berbagai jenis
tanaman yang biasa dijadikan obat. Ginseng, Kumis Kucing, Sirih, Lidah Buaya,
Patrawali, Daun
Saga dan beberapa jenis lain yang tidak kukenal.
Semalam kami baru tiba dari Jakarta. Aceng yang sudah
sangat merindukan kedua orang tuanya mengajakku untuk mengunjunginya. Kami
berdua memang sudah sangat dekat. Orang tuaku adalah orang tuanya. Begitupun
sebaliknya. Persahabatan yang telah kami bina sejak SMA 8 Tahun yang lalu
membuat kami sudah seperti keluarga. Aku menyetujui ajakannya sekalian memang
aku berencana untuk menghadiri pernikahan salah satu sahabatku di Kota Garut.
Pun aku juga memang punya janji untuk bertemu seseorang di Bandung.
Ibunya Aceng
membuatkan kami kopi dan singkong goreng yang dipanennya dari belakang
rumah. Ah, bicara tentang kopi ini
merupakan salah satu minuman kebanggan lelaki. Sarapan terbaik para lelaki ya
secangkir kopi. Terlebih menikmatinya dengan Singkong goreng yang baru saja
dipanen itu sungguh nikmat yang luar biasa. Suasana pedesaan, riak air di
sungai, kicauan burung-burung liar menambah syahdu pagi yang menakjubkan ini.
“Mau ngapain Cok ke Bandung dulu?” Aceng membuka pembicaran kami pagi itu
setelah ia menyesap kopi buatan Ibunda tercinta.
“Mau ketemu teman Ceng. Kita mau rekanan bisnis hand craft. Kemarin udah riset pangsa pasar, ya mudah-mudahan jadi
peluang yang bagus.”
“Ya sudah, berangkat jam berapa?”
“Jam 9 lah ya, mandi dulu, sarapan dulu. Sekalian bilang sama Mama.”
Kami berdua bersiap-siap. Jarak dari Cianjur ke Bandung lewat jalur
Padalarang sekitar 2 jam. Setelah berpamitan kami pun berangkat. Kami memang
sudah terbiasa bepergian ke berbagai daerah untuk mengunjungi beberapa teman. Baik
itu temanku ataupun temannya Aceng. Terkadang kami berkunjung karena ada
keperluan bisnis atau hanya sekedar temu kangen.
Berangkatlah kami pukul 9 lewat 11 menit Waktu Indonesia Bagian Cianjur. Di
perjalanan kami berdua meracau tentang masa depan dan tentang semua hal yang menjadi
kekhawatiran para remaja pada umumnya. Tentang cinta, tentang kehidupan yang
sempurna bersama seorang istri yang luar biasa dan anak-anak yang tumbuh dengan
baik, tentang perjalanan karir, dan apapun kami bicarakan.
“Kau tahu Ceng? Semua kekhawatiran yang kita rasakan sekarang hanya akan
jadi bahan tertawa kita kelak saat menceritakan ulang kisah kita sekarang. Trust me!”
Tanpa mengalihkan pandangan kedepan Aceng dibalik kemudi menganggukan
kepala tanda setuju. “Tapi tetap saja Cok kadang membuat kita cemas.”
Timpalnya.
“Yes, precisely that, we have to
stimulate ours brain. Kau tahu Ceng cara kerja otak itu bergantung pada
filter konsep yang terbentuk. Dan kita bisa membentuknya. Selama filter konsep
kita baik, Stimulus apapun yang masuk ke otak akan diolah dengan baik. Termasuk
kekhawatiran kita akan masa depan. Memang kadang mencemaskan mengingat sudah
hampir separuh baya kita masih begini saja. Jangankan kehidupan yang sempurna.
Masalah percintaan saja kita selalu gagal”.
“Katreusna, Upps” Aceng buru-buru mengatupkan mulutnya.
“Damn you Ceng, I’m serious.” Aku menonjok pelan
lengannya yang tetap berada diatas kemudi.
Katreusna, ah
sudahlah sebaiknya tidak kuceritakan tentangnya. Dia adalah masalalu suram yang
pernah merusak persahabatan kami beberapa tahun silam. Seorang yang pernah
membuat kami berdua seperti orang yang tidak saling kenal. Ah betapa bodohnya
kami saat itu.
Ingin kuteriak, Hatiku melara
Kalau memang begini maumu
Untuk apa semua kata
Kau titip di hatiku....
Aceng mengalihkan pembicaraan dengan melafalkan lirik lagu Inka yang sedang
diputar. Aku pun mengikutinya dengan khas suara sopran pada bagian Reff.
Disekitar daerah pasar Ciranjang, ponsel ku berbunyi. Segera aku
mengeceknya. Beberapa pesan dari seorang yang kontaknya kuberi nama ‘Icha’
“Bang maaf, aku pulang tadi
pagi.”
“Jadi nggak bisa ketemu di dekat
kampus”
“Kalau mau Abang kerumah saja.”
Aku tak segera membalasnya. Buru-buru kuminta pendapat Aceng. “Gimana ini
Ceng?”
“Ya bagus lah Cok. Sekalian kenalan sama Bapaknya. Cok, lelaki gentle itu gak sembunyi-sembunyi nemuin
anak gadis orang. Tapi berani bertemu didepan Bapaknya!”
Aku bergumam mengangguk tanda setuju. Segera kubalas pesan nya. “Oh, ya sudah kirim alamatnya de.”
Selang beberapa menit barulah Icha membalas pesanku dan menyisipkan alamat
rumahnya.
“Ceng, ganti tujuan. Nggak jadi ke Ujung Berung. Kita ke Soreang.”
“Oke, masuk Tol Padalarang aja ya, keluar Kopo.”
“Whatever is faster!” Jawabku.
Aceng menambah kecepatan, meliuk-liuk melewati gunung-gunung batu yang
menjulang dan dikeruk eskavator-eskavator raksasa di kana dan kiri di sepanjang
jalan. Lagu yang diputar masih lagu klasik yaitu ‘Bianglala’ yang dibawakan
oleh rocker peremuan ‘Mel Shandy’. Kami berdua sama-sama melafalkan lirik lagu
itu. Berteriak-teriak seperti orang gila. Tapi memang bagi kami Indonesian Lady Rock punya tempat
tersendiri dihati kami. Mungkin akan jarang sekali ditemukan anak-anak muda
seumuran kami yang mengenal lagu-lagu dari Inka,
Mel Shandy, Conny Dio dan tentu saja sang fenomenal Teh Nikeu. Sepanjang jalan kami terus
bernyanyi.
Bersambung....
Post a Comment