Header Ads

CERPEN BLACK BAGIAN KE 2

 CERPEN BLACK BAGIAN KE 2

Bukan hal yang mudah menjalankan kembali binsis yang sudah mati suri. Kedai Herina sudah tutup cukup lama. 4 bulan sejak kematian empunya. Kedai itu memang hanya dijalankan berdua, Bernard dan Herina. Bukan mereka tidak mau menerima karyawan tapi mereka berdua memang menyukai pekerjaan itu. melayani orang-orang yang datang dengan penuh kerelaan dan cinta. Orang-orang kadung menanggap kedai itu tutup dan pemiliknya menjadi gila. Tapi bagaimanapun juga kedai itu harus kembali buka. Agar kenangan Herina tetap hidup di kedai itu. Memang di Jakarta kedai yang menyediakan kopi dari biji sangat jarang sekali. Kalaupun ada itu harganya tidak bersahabat. Kopi menjadi komoditas utama yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit. Bernard yang pernah mengembara cukup lama di daerah penghasil kopi arabika terbaik ingin agar orang-orang kalangan menengah kebawah bisa merasakan minuman mewah itu dengan harga yang ramah di kantong. Jika selama ini mereka hanya bisa menikmati kopi bungkus, maka kehadiran Herina’s Caffe memberikan pengalaman baru bagi mereka yang belum pernah menikmati secangkir kopi yang dibuat dengan cinta bukan dengan mesin.

Bernard baru menyadari setelah bertemu dengan Jean bahwa kedai yang dibuat bersama istrinya itu harus tetap buka dan melayani orang-orang dengan penuh cinta agar istri tercintanya tenang di alam sana. Dia pasti merasa sedih melihat apa yang Bernard perbuat terhadap kedai yang dicintainya. Ah memang bodoh pikirnya, untuk apa berlarut dalam kesedihan. Kalimat ini memang klasik sekali. Bahkan semua orang tidak benar-benar mempedulikannya. Kenyataannya kesedihan akan selalu singgah pada siapa saja yang kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terlebih selama pernikahan mereka Bernard dan Herina tidak dikarunia seorang anak pun. Tentu saja Herina adalah satu-satunya orang dalam hidupnya yang paling berarti. Selama ini Bernard tidak pernah benar-benar memiliki orang yang berarti sebelum pertemuannya dengan Herina. Mereka berdua adalah pasangan ideal yang sangat cocok meski berbeda kultur dan negara.

Kali kedua setelah pertemuan pertama Jean dan Bernard mereka berdua bersepakat untuk bertemu lagi tiga hari kemudian untuk membicarakan bagaimana nasib kedai Herina. Siang itu Jean datang bersama seorang perempuan cantik dengan busana yang rapi. Gaun yang dipakainya berwarna kuning cerah. Rambutnya sebahu dengan poni di depannya. Perempuan itu memakai kacamata tebal. Matanya terlihat lebih besar dengan kacamatanya. Tingginya hanya sedagu Jean. Berbeda sekali dengan Jean yang bertubuh kurus tak terurus dan tampilan yang kusut. Jean mengenakan kemeja pendek bermotif bunga sakura dengan kancing atasnya yang dibiarkan terbuka. Rambutnya ikal dan berantakan. Sepatunya seperti sudah tidak pernah dicuci selama satu abad. Benar-benar tidak cocok berjalan berdampingan dengan perempuan cantik itu.

“Hei pak tua! Selamat siang. Perkenalkan ini kekasihku Alula. Dia datang untuk membantu.” Jean dengan rokok tersumpal dimulutnya menyapa Bernard dan memperkenalkan perempuan cantik yang ternyata kekasihnya. Alula menyikut Jean memberikan isyarat untuk mematikan rokoknya dan bersikap sopan. Setelah itu ia tersenyum pada Bernard dan menyodorkan tangan mungilnya.

Bernard segera menerima uluran tangan Alula dan memperkenalkan dirinya. “Bernard, kau boleh memanggilku Uncle Bern.” Bernard tersenyum tipis.

“Lula.” Jawabnya singkat dengan sesimpul senyum cantik yang membuat pipinya mengentit lesung. Saat menjabat tangannya Alula merasakan bahwa tangan itu sudah mengalami banyak petualangan. Kasar dan bertenaga.

“Silahkan duduk Lula. Aku sudah membereskan dan membersihkan semuanya sejak pagi.” Bernard mempersilahkan Lula duduk di sofa kulit hitam yang berada di sebelah kiri kedai. Sofa dan meja itu memang benar-benar sudah rapi. Dikedai ini hanya ada satu set sofa dan sisanya hanya kursi bar biasa di setiap pojokan. Dibagian teras ada 4 pasang kursi dan meja untuk mereka yang merokok. Kedai ini memang tidak terlalu besar. Namun karena harga-harga minuman yang murah membuat kedai ini selalu ramai.

“Terimakasih uncle Bern.” Mereka pun duduk di sofa itu dan mulai berbicara.

“Jadi bagaimana kita mulai anak muda?”

“Tentu saja kita mulai dengan membalik papan tanda Open di pintu.” Jean menunjuk papan tanda di pintu kedai. “Bagaimana dengan persediaan biji kopi dan lainnya pak tua?”

“Aku sudah memesannya dua hari yang lalu. Sekiranya hari ini akan datang. Dan yang lama sudah kubuang.”

“Baiklah, aku akan jadi pelayannya sementara aku belum bisa membuat kopi. Kau harus mengajarkanku dan memperkenalkanku dengan semua peralatannya.”

“Tentu saja, tapi sebaiknya kau ubah dulu penampilanmu. Aku tak ingin pelangganku kabur melihat pelayannya seperti itu.”

“Aku sudah memperingatkanya uncle Bern. Tapi dia tetap saja tidak mau mendengarku.” Potong Lula yang memang selama ini selalu memperingatkan Jean untuk merubah penampilan kusutnya itu.

“Hahaha, kau memang selalu begitu sayang.” Jean terbahak dengan penjelasan yang disampaikan kekasihnya itu. Lula hanya cemberut melihat respon Jean yang terlalu santai. “Tenang saja pak Tua, I’ll fix it!”

Tidak terlalu memperdulikan lagi penampilan Jean, mereka bertiga mulai membahas strategi bagaimana kedai itu akan dihidupkan kembali. Alula adalah sarjana manajemen, jadi hal ini adalah keahliannya. Ia membuka sebuah buku bersampul kulit warna hitam dari tasnya. Dengan runut Ia menjelaskan strategi yang sudah dirancangnya 3 hari yang lalu setelah mendapat kabar dari Jean bahwa pemilik Herina’s Caffe bersedia membuka kedai itu lagi. Jean dan Bernard mengangguk-angguk mendengarkan semua penjelasan Lula. Sesekali Bernard mengusap brewoknya. Bernard mengusulkan Jean tidak hanya sebagai pekerja saja tapi ia akan memberikan bagian dari hasilnya agar Jean ikut merasa memiliki kedai ini. Tentu saja Jean dan Lula senang dengan penuturannya itu.

“Untuk mengabarkan kembali pada pelanggan bahwa kedai ini telah buka lagi aku dan Jean sudah menghubungi beberapa teman untuk meramaikan kedai ini besok.” Jelas Lula sambil membenarkan letak kacamatanya dia melirik Jean untuk mendapatkan penegasan.

“Iya pak tua, aku juga sudah mengabari kawan-kawan terbaikku agar datang besok.” Jean meyakinkan Bernard dengan apa yang disampaikan Lula.

Bernard sangat senang dengan kehadiran mereka berdua. Tidak hanya memberikan kontribusi agar kedai yang dibangun bersama istrinya itu kembali hidup tapi juga kehadiran mereka sedikit banyaknya mengobati lara hati yang ditanggungnya sendiri setelah istrinya pergi. Bernard merasakan ada secercah harpan baru di hidupnya.

Setelah membahas semua persiapan untuk besok mereka berbincang banyak. Semakin hangat dan semakin akrab. Sehangat kopi yang Bernard hidangkan dan seakrab cangkir dan bibir yang saling berdekatan karena kopi. Bernard membuatkan Alula kopi saring tanpa gula. Sedangkan Jean dibuatkan double espresso.

Tak terasa hari menjelang petang. Mereka bertiga terlarut dalam obrolan, cerita-cerita dan canda tawa. Meski umur Alula dan Jean terpaut cukup jauh dengan Bernard tapi mereka tidak canggung. Pembawaan Bernard yang bisa menempatkan diri dengan siapapun membuat mereka cepat akrab. Itu semua adalah hasil dari petualangannya bertahun-tahun bertemu dengan berbagai macam karakter orang dengan kultur dan budaya yang berbeda. Jean berumur 26 tahun dan Lula satu tahun dibawah Jean sedangkan Bernard berumur 43 tahun.

“Dimana kalian tinggal?” Tanya Bernard setelah menyesap kopi di cangkirnya dan menyimpannya kembali baik-baik diatas meja.

“Aku kost di daerah pondok labu. 5 menit dengan angkutan kota kesini.”

Bernard menganggukkan kepalanya lalu melirik kearah Lula sebagai isyarat atas pertanyaan yang sama.

Dengan segera Lula menjawab. “Aku sih di radio dalam uncle. Kebetulan kantor tempatku kerja dekat daerah situ.”

“Baiklah tidak begitu jauh dari sini.”

Kedai Herina sendiri berada di sekitaran R.S Fatmawati tepatnya di pertigaan jalan yang mengarah ke terminal lebak bulus dari jalur belakang.

“Baiklah kita cukupkan hari ini, kau pun harus bekerja besok. Dan kau Jean jangan lupa rapikan rambutmu dan cuci sepatumu itu. Besok kita buka jam 10 Siang.”

Jean tergelak “hahaha, oke pak tua. Besok kau akan melihat aku berbeda.”

Jean memang tidak terlalu peduli dengan penampilannya bahkan sejak pertama kenal dan jatuh hati dengan Lula pun ia tetap seperti itu. selama ini Jean bekerja di sebuah percetakan yang tidak terlalu memperdulikan penampilan pekerjanya. Pun awalnya Jean menolak untuk menemui Bernard dan meminta supaya kedainya buka kembali. Tapi karena Lula sangat menyukai kopi di kedai itu dan demi kekasihnya itu Jean rela melakukan apapun.

Jean dan Lula berpamitan pada Bernard. Tempat tinggal mereka berlawanan arah tapi Jean mengantarkan Lula dulu dengan menyetop angkot di depan kedai. Mereka pun berlalu dan tinggalah Bernard yang melihat mereka berdua dari depan pintu kedai. Lula melambaikan tangannya dari jendela angkot dan Bernard membalas lambaian tangnnya dan tersenyum.

Meski dengan cara yang aneh dan terkesan tidak sopan namun kehadiran Jean memberikan energi positif bagi Bernard. Dengannya ia bisa kembali memiliki semangat baru untuk menghidupkan kembali kedainya. Dalam hatinya ia berkata “Semoga engkau setuju dengan apa yang kubuat ini sayang.” Ia berbicara dengan hatinya berharap mendiang istrinya mendengar.

 

 

GANJAR MIFTAHULHAQ

No comments