Header Ads

Teori Pers Bebas (Libertarian) Materi Kuliah

 Teori Pers Bebas (Libertarian)

Teori Pers Bebas (Libertarian) Materi Kuliah


Teori pers liberal (libertarian) berkembang pada abad ke 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, esensi dasar sistem dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan menyakini bahwa manusia akan mengembangkan pemikirannya secara baik jijka diberi kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosaan” kebebasan berfikir. Oleh karena itu pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran. Keenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.[1]

Menurut teori libertarian, pers juga harus memiliki kebebasan dalam membantu manusia untuk mencari kebenaran. Untuk kebenaran melalui penalaran, manusia senantiasa membutuhkan semua akses informasi dan gagasan. Pers dapat membantu manusia membedakan antara yang benar dan salah. Jika manusia tetap berpegang pada logikanya, kebenaran akan muncul melalui pergulatan informasi dan gagasan. Karenanya, perubahan sosial takkan terjadi melalui kekerasan, melainkan muncul melalui proses diskusi dan persuasi.

Teori libertarian juga berpendapat ekspresi bebas akan menciptakan koreksi, karenanya, aneka batasan terhadap kegiatan membaca dan menulis harus ditekan sekecil mungkin. Sebagian besar manusia adalah makhluk moral yang akan menggunakan kebesarannya secara tabggung jawab dalam mencari kebenaran. Memang ada manusia yang akan menyalahgunakan kebesannya, namun keberadaan mereka tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk memberangus kebebasan itu sendiri. Charles Bread memang benar ketika ia berkata bahwa kebebasan pres dalam dalam konstitusi AS awalnya berarti “hak untuk menjadi adil atau tidak adil, memihak atau netral, serta benar atau salah, da;am melakukan pemberitaan.

Teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan berdasarkan tiga alasan. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor mengalami upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia memerlukan akses kesemua informasi dan gagasan, bukan cuma yang disodorkan kepadanya.

Namun teori libertarian juga membenarkan pemerintah guna mnerapkan pembatasan tertentu, yakni sansi terhadap mereka yang menyebarkan kepalsuan. Orang ini bahkan harus diseret kepengadilan. Pemerintah juga dibenarkan untuk merapkan standar penyebaran informasi tertentu agar informasi yang belum tentu benar tidak langsung disebarkan.[2]

Dalam teori pers libertarian manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebeanaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, tuntuan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasrkan teori ini.

Sebutan terhadap pers sebagai “the frouth estate” atau “ pilar kekuasaan keempat” setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pun menjadi umumu diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenannya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bettahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.

Teori pers bebas atau teori libertarian ini memang paling bnayak memberikan landasan yang tak terbatas kepad pers. Oleh karena itu, pers bebas juga paling bnayk memberikan informasi, paling banyak membelikan hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, di balik paling banyak dalam ketiga segi itu, pers juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerinta. Sekali pembatasan-pembatasan serta aturan-aturan yang mencipakana keuntungan beruapa materi bagi pemilkinya sendiri. Pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat[3] 



[1] Nurudin, Sistem Komunikasi Indoneisia. (Jakarta: PT. RajaGratindo Persada, 2002),  Hal. 72

[2] Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern. (Jakarta: Prenada Media, 2004),  Hal. 81

[3] Muhammad Budiyatna, Teori dan Praktik. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),  Hal. 20

No comments