Cerpen | Perempuan Yang Kuminta Dari Tuhan Bagian 4
Cerpen | Perempuan Yang Kuminta Dari Tuhan Bagian 4
Exit toll Kopo. Arloji seiko yang sudah retak kacanya 6 tahun silam
menujukan pukul 11 lewat 17 menit.
“Eh Ceng, kita kan mau kerumahnya. Masa nggak bawa apa-apa?”
“Yaudah mau bawa apa? kita berhenti dulu sekalian cari tempat buat shalat
Dzuhur. Biar nyalse nanti disana.”
“Just turn left Ceng! Miko aja.” salah satu mall yang ada di sisi jalan tol
Purbaleunyi.
Tanpa kata lagi Aceng langsung membanting stir memasuki area parkir mall.
“Tapi bawa apa ya Ceng?”
“Kau punya uang Cok?”
“Ada tapi nggak banyak.”
Sambil menunjuk ke salah satu counter makanan, Aceng memberi isyarat untuk
memilih itu.
“Donuts?” aku mengernyitkan dahi.
“Why Not? Its quite worth it.”
“Ok, I’ll take your advice.”
Kami memutuskan untuk membeli sekotak donat. Donat yang satu ini memang
merupakan donat kesukaan kami. Semasa perjuangan kami di ciputat beberapa tahun
lalu seringkali kami membeli donat ini sepulang dari pekerjaan yang melelahkan.
Ah sungguh konyol. Donat ini menjadi saksi sejarah yang akan terus terkenang.
Berbekal sekotak donat, kami melanjutkan perjalanan seusai shalat Dzuhur. Jalanan
bisa dikatakan cukup lancar mengingat hari itu adalah hari Rabu. Ah, kalau
weekend sudah pasti jalur KoKaSo ini akan sangat macet dipenuhi para pelancong
lokal maupun impor dari Jakarta dan sekitarnya yang akan ke Ciwidey. Berbekal
GPS yang tersemat di ponsel tidak begitu sulit menemukan alamat rumahnya. 40
menit kemudian kami telah sampai di sebuah gerbang komplek bertuliskan
“Banjaraharja” pada gapura.
Tak lama dari situ kami menemukan Nomor rumah yang kami tuju. “Ceng, ini
rumahnya!” aku menunjuk ke sebelah kiri jalan. “Just stop here Ceng!.” Pintaku.
Kami berdua turun dari mobil dan segera mengucapkan salam didepan pagar
yang bertuliskan J.3. Seorang Ibu-ibu dengan umur kira-kira 40 tahun membalas
salam kami. Dan menghampiri kami untuk membukakan pintu.
“Maaf bu, benar ini rumahnya Icha?” Ibu itu terlihat agak bingung dengan
pertanyaanku. Dan sebelum dia menjawab aku ralat pertanyaanku segera. “Maksud
saya Annisa.”
“oh iya, mangga kalebet.”
Jawabnya sembari menggeser pagar rumah.
Aku dan Aceng saling menyikut. Setengah berbisik aku bilang. “Ceng, Ibunya!”
“Mana kutahu Cok.”
Tanpa pikir panjang kami berdua menyalami Ibu itu. beliau mempersilahkan
kami masuk dan mempersilahkan kami duduk di kursi ruang depan. Sementara itu
beliau langsung kembali ke belakang.
Lama kami menunggu sang tuan rumah tak jua menampakan diri. Kami bicara
berbisik-bisik saling mempertanyakan situasi. Sesekali aku mengedarkan
pandangan ke tiap penjuru rumah. Aceng menyikutku memberikan isyarat untuk
berhenti memperhatikan sekitar. Aku segera paham dan langsung menundukan
kepala.
Sekitar 10 menit kami menunggu seorang Ibu-ibu yang lebih tua dan lebih
rapi dari Ibu-ibu tadi datang menghampiri kami. Kami pun segera bangkit dan
menyalaminya. Dalam benakku, “Ah ini pasti ibunya, terus yang tadi siapa ya?
Masa bodolah.” Segera kutepis.
“Jadi ini?” Ibu itu menunjuk kami berdua dengan maksud menanyakan siapa
kami.
Aku segera memperkenalkan diri dan juga. “Saya Coki Bu, ini Aceng.”
“Jadi ada maksud apa datang kesini? Ibu kaget aja tiba-tiba tadi Icha
bilang mau ada yang datang kesini.”
“Ah, saya mau silaturahmi saja Bu.”
Aku menceritakan bahwa sebenarnya kami janjian bertemu di dekat kampus.
Tapi berhubung Icha pulang ya jadi sekalian kerumahnya. Aku pun bilang akan ke
Garut untuk menghadiri pernikahan temanku.
“Oh iya ini Bu sekedar buah tangan.” Aceng menyodorkan sekotak donat yang
kami beli tadi dijalan.
“Duh, segala repot-repot. Terimakasih ya. De, ini bawa ke belakang!”
seorang anak berusia sekitar 12 tahun datang menghampiri dan menerima kotak
donat dari tangan Ibunya.
“Nak Coki sudah berapa lama kenal Icha?”
“Beberapa bulan lalu Bu, di acara reunian sekolah.”
“Oh, jadi nak Coki satu sekolah dulu sama Icha?” Ibu Icha manggut –manggut.
Aku membalasnya dengan senyum lalu kubilang. “Iya Bu, tapi baru sekali
ketemu pas reuni.”
Kami bertiga mengobrol ringan, Ibu Icha lebih banyak bertanya tentang kami
berdua. Kegiatan kami, pekerjaan kami dan tentunya semua hal ditanyakannya
sangat detail. Kami yang sudah terbiasa berbicara dengan orang-orang yang lebih
tua mampu mengimbangi pembicaraan Ibu Icha. Begitupun Ibu Icha berusaha
mensejajarkan pembicaraan dengan kami yang lebih muda. Tak jarang kami bertiga
tertawa bersama dengan cerita-cerita kami.
“Jadi sebenarnya maksud ananda datang kesini sebenarnya apa? Ibu nggak
yakin cuma silaturahim aja.” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dan membuat
suasana yang semula kondusif menjadi hening. Aceng menyikut ku. Aku menginjak
kakinya memberikan isyarat untuk diam. Saat itu aku bingung mau jawab apa.
Ibunnya Icha masih menunggu jawaban dari kami dan melihat kami satu persatu.
“Begini Bu...” belum sempat aku memberikan jawab. Sayup-sayup suara adzan
ashar terdengar dari Mesjid sekitar. Aku langsung inisiatif mengalihkan
jawabanku. “Jadi begini bu, kita pamit izin shalat Ashar ke mesjid dulu.”
Ibunya Icha terkekeh dengan gelagatku. Dia pun sadar bahwa itu bukan
jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya. Tapi menyadari kewajiban untuk shalat
Ibunya Icha mempersilahkan kami berdua untuk pergi ke Mesjid.
“Gimana Ceng?” selesai shalat kami mengadakan rapat di teras mesjid.
“Yasudah jalan lah. Itu udah lampu hijau Cok. Kau lihat, Ibunya bersahaja,
ramah dan bersahabat. Padahal kita baru kenal. Icha juga nggak keluar sejak
kita datang dia di kamar saja.”
“What are you mean dude?”
“Open your mind Cok! This is an
opportunity. Bukankah gadis sepertinya yang selama ini kau cari? Cukup katakan
kau mau Anaknya.”
“Isn’t that too hasty?”
“No. This is a chance. You have
to take it!”
“Aku baru saja mengenalnya Ceng! Bahkan rasa suka pun belum ada.”
“It’s not a big deal Cok! Kan
nggak mesti hari ini juga menikah. Apapun bisa terjadi kedepannya. Kita lihat
saja, jika jalannya mulus berarti memang dia yang terbaik. Kalaupun sampai
tidak jadi berarti Tuhan punya yang lebih baik.”
“Sejak kapan kau jadi sebijak ini?”
Aceng tertawa kecil. “Pelajaran yang mendewasakan kita Cok. Tapi pastikan
ada ketertarikan walaupun sedikit saja. kita tak bisa menikahi perempuan yang
tidak kita sukai.”
Aku mengangguk-angguk kecil tanda setuju dengan apa yang dikatakan Aceng.
“Okay, I’ll take it. Bismillah.”
“Tapi ingat! Apapun jawabannya kau harus terima Cok."
Hasil rapat sudah didapat. Kami beradu tos sebagai tanda sepakat. Aku akan
bicara, sekalipun tak ada persiapan bagaimana memilah kata dan apa yang harus
aku sampaikan tapi Bismillah saja.
Bersambung...
Baca Bagian Ke 5
Post a Comment