Senja di Atap Genteng Bagian 1 (Diary Seorang Santri)
Senja di Atap Genteng Bagian 1
16.15 kereta akan berangkat dari
Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Stasiun Balapan Solo. Menjelang senja stasiun
akan melepas kereta dari Dipo. Seperti aku akan melepas rindu yang telah lama
kutabung untuk membeli temu. Beberapa jam yang lalu aku menerima telpon dari
Solo dan harus bergegas berangkat sore itu juga. Beruntung lah aku memiliki
seorang teman yang bekerja sebagai salah satu operator ticketing kereta api.
Normalnya kita harus memesan tiket sekurang-kurangnya 6 jam dari keberangkatan.
Dengan bantuannya hal seperti itu tidak perlu. Aku bisa berangkat meski memesan
beberapa menit sebelum berangkat. Terlebih hari ini bukan hari-hari lebaran
atau liburan yang akan membuat sesak kereta. Ya, hanya hari biasa. Di
penghujung September yang tak biasa.
Senja semakin menjadi seiring
berjalannya kereta yang ditandai dengan bunyi khas stasiun dan lolongan lokomotif.
Tidak banyak penumpang di gerbong yang kududuki. Dapat dihitung jari. Dan aku
duduk sendiri. Tak ada penumpang lain yang memesan bangku di sebelahku. Kosong,
sepertinya situasi sedang ingin bersekutu. Aku memang sedang ingin sendiri.
Biar lamunanku yang menemani perjalanan 11 jam kedepan. Kulihat diatas kursi
bertuliskan D16 dan D15. Tak ada koper atau ransel besar yang biasa kubawa
untuk bepergian. Hanya tas kecil berisi satu setel baju dan daleman, ponsel dan
sebuah buku tebal berjudul Mars dan Venus. Buku itu adalah hadiah dari sahabat
lama yang secara ajaib bertemu setelah 13 tahun berpisah. Entah apa yang
kupikirkan diwaktu yang mendesak aku sempat membawanya yang beberapa hari ini
tergeletak dimeja kerja.
Perlahan, dan semakin bertambah.
Beberapa menit kemudian kereta pun meluncur dan mencapai kecepatan stabil. Kuarahkan
pandangan keluar jendela kereta. Masih di kota Jakarta. Tak ada pemandangan
indah seperti di film film saat pemerannya melihat keluar jendela. Hanya ada
perempatan dengan kendaran yang bertumpuk dan pintu palang yang semakin tua
berteriak meminta pensiun. Lewat itu hanya ada perkampungan kumuh nan padat
pinggiran rel. tapi aku enggan memalingkan pandangan dari luar jendela kereta.
Setidaknya itu menghiburku, mengingat disinalah biasa aku berburu waktu. Tentu
saja dikota inilah aku hidup. Merajut mimpi yang sampai sekarang tak pernah
terbeli. Bahkan di kreditpun tidak. Bagaimanapun hidup harus tetap berlanjut.
Perkara mimpi itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah perut
harus terisi. Biar kugadai dulu mimpi-mimpi yang setinggi langit itu. berharap
waktu mau bersekutu memberikan keluangan untuk menebusnya. Semakin laju
keretaku semakin jauh aku terbawa pada lamunanku. Tak ada yang bisa
menghentikanku membuka kembali rekaman berbagai peristiwa terdahulu.
~
Saat itu aku duduk dibangku sekolah
menengah pertama. Di sebuah kota dengan julukan Swiss Van Java. Masih dikota
kelahiranku. Hanya saja terletak dipusat kota yang cukup jauh dari kampungku.
Bapak mengirimku kesana karna memang tak ada sekolah yang cukup bagus di
sekitar kampungku. Biar miskin, urusan pendidikan harus diutamakan. Begitulah
prinsipnya. Sebuah pesantren cukup besar dikota kami. Bahkan mungkin bisa jadi
yang terbesar. Bangunan megah yang tertutup. Jika dilihat dari luar mirip
Lembaga Pemasyarakatan. Benteng-benteng tinggi dengan pintu gerbang besi yang
memiliki jendela kecil berjeruji. Jika saja warna cat bangunan itu bukan hijau
mungkin orang tak akan menyangka jika itu sebuah pesantren.
Hal yang tak pernah kulupa adalah
Bapak dan Ibu mengantarku dengan menyewa sebuah mobil pick up yang
dikerudungin. Jadi mirip sejenis angkot. Itu kendaraan umum yang khas di
kampungku. Bahkan tidak hanya Bapak dan Ibu yang mengantar tapi beberapa
tetangga ikut serta. Ah, kupikir mereka hanya ingin jalan-jalan ke kota saja
tanpa mengerti arti melepaskan. Hanya Bapak dan Ibu saja yang benar-benar
mengerti situasi itu. melepas anak sulungnya dengan harapan menjadi sosok yang
bermanfaat kelak. Berbeda dengan siswa lain yang bermobil bagus nan baru.
Mungkin hanya aku saja yang diantar dengan mobil butut boleh sewa dari tetangga
yang supir. Itupun dikasih harga tetangga. “Biar berkah, kalau nganter anak
pesantren mah” begitu katanya.
Pernah kau bayangkan? Mula-mulanya
aku sangat senang, bahkan terlampau senang. Tidak banyak anak yang
seberuntungku dikampung bisa bersekolah ditempat yang cukup elit dan mahal.
Yang lebih berada banyak, tapi yang peduli pendidikan seperti bapak. Kurasa tak
ada. Hanya saja, beberapa saat setelah kepulangan mereka. Tiba-tiba pikiranku
kacau. Air mata tak bisa kompromi, menetes begitu saja seiring menghilangnya
mobil butut itu dikelokan. Aku termangu melihatnya kosong. “Oh tuhan seperti
inikah beratnya perpisahan” lirih batinku disertai isak tangis yang tak
tertahan. Cengeng, tentu saja. ini berat. Tak ada yang kukenal disini. Tak ada
teman. Semuanya serba baru. Tempat baru, lingkungan baru, orang-orang baru.
Satu satunya yang tak baru adalah selimutku dan kain sarung lusuh yang kubawa.
Sadar akan kewajiban memenuhi harapan bapak aku bertekad akan bertahan ditempat
ini. Menemukan jati diri, menemukan mimpi, tak terbayangkan untuk menemukan
cinta.
Aku kembali keruang asrama, No. 9 itu
yang tertulis di muka pintu. Tak sempat kuperhatikan sekitar ruang. Tadi aku
terlalu sibuk membereskan barang bawaan dan sesekali terdengar beberapa nasihat
serta do’a yang diucapkan beberapa tetangga yang ikut mengantar. “semoga betah”
hanya itu yang jelas dan bisa kuingat. Satu ruangan terisi 12 siswa. Tak
satupun kutemui. Oh, mungkin aku terlalu pagi datang di hari yang telah
ditetapkan. Jadi Cuma aku yang baru datang. Ada 6 ranjang susun yang berderet
rapid an 12 lemari ukuran sekitar 50 x 70 cm yang berderet memenuhi sisi
ruangan. Diantara deretan lemari itu ditengah-tengah ada jendela berjeruji.
Sudah kuduga, ini memang mirip penjara. Aku memilih ranjang paling pojok atas.
Kutandai kasur itu dan membungkusnya dengan sprei baru berwarna biru, bergambar
beruang. Dan kuletakan selimut lusuh diujung Kasur.
Menjelang sore, satu persatu penghuni
kamar berdatangan. Sudah kuduga mereka deretan orang berada. Terlihat dari
pakaian dan barang yang mereka bawa. Orang tua mereka pun jauh berbeda dari
ibuku yang Cuma pedagang warung di kantin sekolah dasar dipelosok kampung.
Belakangan kami berkenalan satu persatu. Adalah Ahmad yang berasal dari depok.
Dengan perawakan kurus, tinggi berwajah campuran Indo-Arab. Ical, orang jogja
yang lahir dan besar di Jakarta. Benny, sigendut yang sepertinya anak orang
kaya berasal dari bandung. Bayu, Pendi, Kusdinar dan yang lainnya berasal dari
berbagai kota. Tempat baru, orang baru dari bermacam suku dan budaya yang
berbeda. Harus berbaur menjadi satu atas nama Teman.
Hari-hari berlalu, dan aku?
Masih saja sering duduk sendiri
ditangga yang menghadap kejalan. Melakukan hal yang sama seperti beberapa hari
yang lalu saat Ibu, Bapak, Rombongan pengantar lainnya beserta mobil butut
sewaan menghilang tepat dikelokan. Dan yang kulakukan adalah menangis. Dikamar
kami bersenda gurau, bercerita satu sama lain. Tapi taka da yang tahu, ditempat
itu aku menangis. Tangisan tanpa suara. Hanya derai airmata yang entah kenapa
tak dapat kubendung saat melihat kelokan itu.
Dibalik tangisan tersembunyi itu ada
hal yang menarik ditempat ini. Yaitu makanan. Sebenarnya makanan biasa
sebagaimana pada umumnya masakan. Yang membuatnya special adalah
julukan-julukan yang entah siapa yang menjadi pencetusnya. Membuat kami sedikit
terhibur.
“makan sama apa sore ini?” Tanya
Ahmad.
“sayur kapsul mat.” jawabku singkat.
“yaah, aku tak begitu suka.”
Timpahnya kecewa.
Awalnya kami tak tahu julukan-julukannya.
tapi sering mendengar penghuni lama membicarakannya kamipun terbiasa
menyebutnya dengan julukan-julukan itu. sayur kapsul adalah julukan untuk sayur
kacang merah, ada lagi Tahu Berenang untuk Tahu goreng yang dibumbui kecap
encer. Tak kalah menarik ada Tahu Pelangi, Kulit Jin dan Ikan Masuk Angin. Menu
makanan sangat variatif disini. Jadi tidak membuat bosan. Kendati begitu mereka
yang berasal dari kalangan menengah keatas terkadang enggan memakan masakan
kampung. Mereka lebih memilih jajan mie instan atau bakso di kantin asrama.
Pun saat mengantre untuk mandi, baik
pagi maupun sore. Hal yang baru pertamakali kujumpai. Gayung berisi aneka sabun
yang berderet di depan pintu wc. Entah, yang punya entah kemana. Yang mengantre
bukan orangnya melainkan gayung-gayung itu. tapi setelah yang mandi selesai
lantas ia berteriak kepada pemilik gayung setelahnya itu. “ woy, ical. Giliran
kamu nih”. Seketika empunya akan datang. Seperti itulah, dan semuanya
seakan-akan menjadi sebuah budaya. Budaya yang sekali lagi entah siapa yang
mencetuskannya.
Jika pagi tiba, usai mengaji kami
bergegas berebut kamar mandi. Sama seperti sore hari. Tentu saja di pagi hari
waktu tersedia lebih sedikit. Karna kami harus masuk sekolah pukul 06.30 hebat
bukan? Berbeda dengan sekolah lain. Kami masuk lebih pagi. Kata salah satu
guruku ini adalah bentuk pelatihan kedisiplinan. Di setiap penjuru Asrama ada
pengeras suara dan setiap hari Pengurus asrama menemani kesibukan pagi kami
dengan berbagai cerita pendek, sesekali lelucon-lelucon yang sering membuat
perut kami sakit menahan tawa. Kak Basith namanya, ia adalah salah satu
pengurus asrama. Mahasiswa Hukum yang mengabdi pada almamater. Ia berasal dari
Indonesia Timur. Masuk kesekolah ini 8 tahun yang lalu. Konon kabarnya selama 8
tahun itu ia belum pernah kembali ke kampung halamannya. Aku tak bisa
membayangkan betapa gigih ia menabung rindu untuk menebus pertemuan dengan
tanah kelahirannya.
Setiap sabtu pagi disekolah kami aka
nada Upacara. Berbeda dengan sekolah pada umumnya yang melakukan upacara di
hari senin dengan mengibarkan bendera merah putih. Kami tak melakukan itu.
upacara yang lebih mirip jika disebut dengan Bai’at (Perjanjian) perjanjian
peserta didik untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mengamalkannya. Di
upacara hari sabtu ini juga kadang terselip I’lanat (Iklan) atau sejenis
pengumuman. Apapun itu, siswa-siswi yang berprestasi diluar akademik akan
diumumkan melalui upacara ini.
Usai Ashar menuju Maghrib adalah
waktu luang kami di asrama. Kami bebas memilih kegiatan apapun di waktu itu.
fasilitas asrma pun cukup lengkap. Dari Tenis Meja, Lapangan Badminton,
Lapangan Voli dan lapangan basket ada di lingkungan asrama. Beberapa memilih
berolah raga, beberapa memilih belajar dan beberapa memilih membaca buku-buku
cerita.
“kau sedang baca buku apa cal?”
“Ini namanya novel kawan, kau ingin
jadi pujangga yang menaklukan hati wanita dengan kata-kata. Maka
banyak-banyaklah baca novel”.
Gaya bicara dan logat yang jauh dari
kebanyakan orang jogja. Ah, dia kan memang besar di Jakarta. Kurasa setahun
sekalipun belum tentu ia pulang ke kampung halamannya.
“tentang apa novel yang kau baca
itu?”
Tanpa menjawab Ical menunjukan cover
novel itu. “Story at Jogja” itu yang tertulis dengan font bold dan besar di
cover buku yang berwarna orange. Diatasnya kubaca “Nurul F Huda” itu nama penulisnya.
Ical, adalah orang yang mengenalkanku
pada dunia novel. Sebelum datang ketempat ini mana ada novel dikampungku. Dia
sering membeli novel baru kalo dapat kiriman dari orangtuanya. Aku? Jangan
bodoh. Mana sanggup aku membeli buku. Uang jajanku hanya 50 ribu sebulan.
Itupun dipotong sabun, detergen, pasta gigi dan shampo. Aku hanya meminjam usai
dia baca. Walaupun kadang penasaran dan kepingin cepat-cepat baca.
Setiap bulan setidaknya ada dua novel
yang ia pinang dari toko buku di sebrang gerbang Asrama. Penjualnya adalah
alumni sekolah kami. Dulu ia berdagang di trotoar jalan. Meski koleksi bukunya
sedikit tapi kita bisa memesan judul apapun yang kita inginkan. Dia akan senang
hati melayani dengan baik. Kang Uud namanya. Begitu semua orang memanggilnya.
Aku tak tahu apa itu namanya atau hanya julukan. Ia adalah pedagang yang gigih.
Tak butuh waktu lama untuknya berpindah dari trotoar jalan ke Kios Kecil yang
membuat koleksi dagangannya lumayan bertambah banyak.
Bersambung. . . . . . .
Post a Comment