CERPEN BLACK BAGIAN 1
CERPEN BLACK BAGIAN 1
Malam itu hujan deras mengguyur kota Jakarta sejak pukul 5 sore hanya
berhenti-berhenti sesaat lalu luruh lagi dan lagi lebih deras. Seakan-akan
langit ikut bersimpati pada hati seseorang yang tengah dirundung duka. Lihatlah
betapa derasnya, gemericiknya memenuhi seisi kota malam itu. kota yang biasanya
bising dan ramai penuh dengan orang-orang yang sibuk mengejar mimpi, malam itu seketika senyap. Benar-benar hanya suara hujan dan lagunya yang terus berdendang
entah sampai kapan. Mungkin sampai shiftnya habis.
Hampir 40 hari berlalu sejak kepergian Alula perempuan yang dicintai Jean 8 tahun terakhir. Perempuan itu tiba-tiba
hilang tanpa jejak, tanpa kabar bahkan tanpa kata perpisahan. Jean menyadari bahwa setiap yang datang akan pergi
dan dia tahu cepat atau lambat Alula akan meninggalkannya. Namun ia tak pernah
menyangka bahwa akan sesakit itu ditinggal pergi seorang yang sangat dicintai.
Selama dan sekuat apapun seseorang mempersiapkan perpisahan maka tak ada
satupun yang akan benar-benar siap.
Bagi Jean, Alula adalah sosok
perempuan yang sempurna. Bukan hanya karena parasnya yang cantik luar biasa
namun kecantikan hatinya yang tak pernah ia temukan pada siapapun. Alula adalah
representasi keindahan bidadari dunia. Bijaksananya dalam berlaku, kesantunan yang memukau, sifat empatinya yang luar biasa, kedewasaannya dalam mengambil setiap
keputusan dan yang paling penting adalah cintanya yang luar biasa.
Dan kini ia telah pergi. Adakah kata yang paling tepat untuk melukiskan
perasaan Jean malam itu?
Jean adalah seorang penjaga sekaligus
pramusaji sebuah kedai kopi di selatan Jakarta. Kedai itu miliki seorang kakek tua yang sudah
menganggap Jean seperti anaknya sendiri.
Kakek tua itu bernama Bernard. Seorang pengembara yang berasal dari Negeri daun
Maple. Bernard menjelajahi ke berbagai pelosok Indonesia karena menyukai budaya
dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Petualangannya berakhir di jantung Ibu Kota Indonesia. Dia bertemu dengan
seorang perempuan bernama Herina dan menikahinya. Herina mau menikahi Bernard
dengan satu syarat dia tidak akan berpetualang lagi. Sudah 23 tahun Bernard
menepati janjinya pada istri tercintanya. Ia menetap di Selatan Jakarta dan
mendirikan sebuah kedai kopi yang diberi nama istrinya. Herina’s Caffe. Herina
meninggal 6 tahun yang lalu dalam sebuah kecelekaan. Herina tertabrak sebuah truk
saat akan menyebrang.
Sejak kematian istrinya Herina’s Caffe tidak pernah buka. Bernard
benar-benar terpuruk. Setiap hari ia berada di kedai membuatkan secangkir kopi
hitam kesukaan istrinya dan meracau berbicara tak jelas di depan cangkir itu
tangan kirinya mencekik botol minuman keras. Sesekali menegaknya dan
menyembulkan asap rokok ditangan kanannya. Orang-orang banyak membicarakan
kedai itu dan pemilik kedainya yang gila. Setiap ada orang datang Bernard
mengusirnya dengan galak. Sampai akhirnya seorang pemuda datang ke kedai itu.
“Mau apa kau?” dengan mata melotot penuh kemarahan Bernard bertanya pada Jean
. “Kedai ini tutup. Get out from here! Pergi kau!” Gertaknya kasar.
“Kau tahu? Semua orang mengatakan kau gila.” Pemuda itu bukannya pergi
malah seperti orang yang siap berdebat. Memasang badan, duduk di depan Bernard
dan mengambil sebatang rokok Marlboro yang tergeletak di meja. Pemuda itu
melihat secangkir kopi yang tak tersentuh. Isinya masih penuh lalu dia menyulut
rokok dan menghisapnya penuh penghayatan lalu menyembulkan asapnya. Pemuda itu
tidak peduli seorang didepannya sedang marah benar.
“Berani-beraninya kau!” kali ini Bernard bangkit dari tempt duduknya dan
hendak mengusir pemuda itu. Namun sebelum tangan besar Bernard menyentuh pemuda
itu, dia berkata.
“Hei pak tua, sebelum kau mengusirku sebaiknya kau mendengarkanku.”
“Who are you?” dengan ekspresi marah bercampur heran dan penuh tanya
Bernard mengurungkan niatnya untuk mengusir pemuda itu.
“Kau tak mengenalku, aku pun begitu. Tapi aku mengenal baik kedai ini.”
Lagi-lagi pemuda itu menghisap rokok ditangannya. Direbahkannya tubuh kurusnya
itu pada sandaran sofa lalu mengepulkan asap dari mulutnya.
“What are you mean? Aku tidak mengerti.”
“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu pak tua. Dan akupun tak peduli. Aku
hanya ingin kedai ini kembali buka seperti biasa. Melayani orang-orang yang merindukan
cangkir-cangkir kopi yang dibuat dengan cinta.”
“Aku adalah pelanggan setia kedai ini. Meski tidak setiap hari aku kesini
tapi aku kenal betul perempuan yang biasa menyuguhkan kopi padaku. Mungkin kau
tak pernah melihatku karna kau terlalu sibuk dibelakang meja menyiapkan
cangkir-cangkir terbaik untuk menyenangkan para pelanggan.”
“Hmmm.” Bernard seperti tak punya kekuatan untuk menyangkal dan mengusir
pemuda itu. memang sudah beberapa hari ini dia tak makan dan tak tidur. Hanya
keberuntungan yang membuatnya bisa bertahan. Ia terduduk lunglai di sofa,
kepalanga mendongak ke atas langit-langit kedai. Membayangkan sosok istri
tercintanya Herina.
“Aku tak tahu apa yang terjadi dengan istrimu. Tapi izinkankanlah aku
menikmati lagi secangkir kopi buatanmu.”
“Istriku?”
“ya, Herina. Nama kedai ini diambil dari nama istrimu kan? Dia sendiri yang
bilang padaku.”
“Tidak, sebaiknya kau pulang saja! aku tak berniat lagi membuat kopi.”
“Hei, lalu itu apa yang diatas meja? Ayolah pak tua satu cangkir saja!”
Pemuda itu menunjuk pada cangkir diatas meja yang sedari tadi tak tersentuh.
Dia tetap membujuk Bernard untuk membuatkannya secangkir kopi.
Bernard melirik cangkir itu dan kemudian melihat kearah pemuda itu.
“Aku akan pergi setelah kau buatkan secangkir kopi.”
“Baiklah.” Akhirnya Bernard mengalah dan beranjak kebalik meja bartender
yang berantakan.
Namun rupanya pemuda itu tidak benar-benar pegi setelah Bernard
membuatkannya secangkir kopi hitam. Percakapan diantara mereka berubah menjadi
hangat. Sehangat kopi dalam cangkirnya. Pemuda itu adalah Jean .
Setiap hari Jean datang ke kedai itu
dan serta merta tanpa diminta Bernard akan membuatkannya secangkir kopi.
Obrolan mereka pun meluas dan menjadi lebih akrab. Setidaknya kehadiran Jean membuat Bernard merasa nyaman ada tempat untuk
bercerita dan menumpahkan semua keluh kesahnya sejak ditinggalkan istri
tercintanya. Sampai pada suatu hari mereka bersepakat untuk membuka kedai
Herina kembali. Dengan mengganti nama nya dari Herina’s Caffe menjadi Kedai
Herina dengan penambahan tagline di bawahnya “Cinta dalam secangkir kopi”.
Hei kisah ini tentu saja bukan tentang Bernard dan Herina!
Post a Comment