Header Ads

Materi Kuliah Sistem Pers Indonesia

 Materi Kuliah Sistem Pers Indonesia

Sistem Pers Indonesia


Materi Kuliah Sistem Pers IndonesiaMateri Kuliah Sistem Pers Indonesia


Sejak 17 Agustus 1945, yakni sejak proklamasi kemerdekaan sampai 5 Juli 1959, yakni ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk “Kembali ke UUD-45”, pers kita selama ini pada dasarnya diselenggarakan dengan sistem yang mirip –mirip sistem Barat, sekalipun pada awalnya sebagai “Pers Perjuangan” mendapat banyak bantuan dari pihak pemerintah.

Sejak 5 Juli 1959, selama 6 tahun sampai Oktober 1965 Indonesia yang masih berada dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kemudian dijalankan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin. Sejak itu struktur politik dan kemasyarakatan Indonesia pun berubah secara  mendasar. Dan, struktur politik yang baru ini membawa pula perubahan yang sama mendasarnya dalam sistem Pers kita. Surat Izin Tjetak (SIT) yang pada masa SOB (Staat van Oorlog en Beleg = Keadaan Bahaya dan Darurat Perang) pada tahun-tahun sebelumnya (1957-1958) diberlakukan, pada masa setelah kembali ke UUD 1945 tetap berlanjut.

Pada saat itu lembaga SIT merupakan yang pertama kalinya dipakai di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dewan pada prinsipnya menolak karena, “Kebebasan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyrakat yang ada, sehingga tak dapat dihalangi. Yang baik, menderita oleh yang jahat. Dewan lebih memilih tindakan penangguhan (pembreidelan) penerbitan (Saran Dewan Hindia tanggal 19 Maret 1920 No.XXXVII).

Selama rezim Soekarno itu pers Indonesia berpretensi  seakan-akan Indonesia menganut sistem pers bertanggung jawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Berita tidak lagi semata-mata harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional. Di samping diberlakukannya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak) pembredelan dan pembrangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan pers yang tidak sejalan dengan politik pemerintah. Selama pemerintahan Orde Lama di bawah demokrasi terpimpin Soekarno itu, kebebasan pers benar-benar dipasung. Kebebasan pers hanya angan-angan, surat kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Politik seakan-akan wilayah yang hanya boleh dijamah sengan kepala tertunduk. Jika suatu berita politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah bisa saja berita politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah bisa saja berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam keselamatan negara.

Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965, sistem dan kehidupan politikdi Indonesia lagi-lagi mengalami perubahan. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah sistem pers kita dari sistem pers otoriter terselubung ke sistem pers otoriter terang-terangan. Jenderal Soeharto yang berhasil mengambil ali kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan untuk melaksanakan UUD’45 secara murni dan konsekuen. Tetapi pasal 28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) dibawah rezim Orde Baru Soeharto itu tetap terpasung. Bahkan dipasung untuk menjadi “Pak Turut”. Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk penerbitan pers dan sensor terhadap pemberitaan pers masih ditambah dengan praktek instansi militer yang sewaktu-waktu “meminta” ditangguhkannya pemuatan suatu berita hanya melalui telepon. Jika suatu media tidak mematuhi “permintaan” ini , maka pemerintah dapat mencabut SIUPP media bersangkutan. Dibawah rezim Orde baru, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang keras, sekeras pemerintah rezim sebelumnya.

Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun kembali ke keadaannya ketika kita berada di era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak merupakan masa kebebasan berpikir tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin-izin atau larangan-larangan, meskipun  pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di Jakarta. Suasana reformasi sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma para petingggi negara kita tentang arti kebebasan mengeluarkan pendapat. B.J Habibie yang pada 21 mei 1998 itu menggantikan Soeharto sebagai presiden boleh dikatakan merupakan Presiden RI pertama yang giat membuka kran-kran demokrasi. Pada masa pemerintahannyalah undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers dicabut, termasuk pencabutan peraturan tentang SIUPP sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No.40 Tahun 1999 yang menjamin adanya kebebasan pers, bahkan dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people’s right to know) karena hak memperoleh informasi itu, demikian bunyi butir (b) konsiderannya merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki.

Sejak itu, pers Indonesia kembali ke sitem Pers ketika negara kita menganut sistem demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, yaitu sistem pers liberal Barat. Bahkan sistem pers kita di era reformasi ini sedemikian bebasnya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa pers kita sudah tidak lagi terikat oleh etika dan rasa tanggungjawab atas kepentingan masyarakatnya. Padahal, di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, pers liberal sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 dan kini negara itu bahkan menganut sistem pers yang bertanggungjawab sosial.

Akar-akar sistem pers Barat ini sudah ada didunia pers kita sejak awal kemerdekaan ketika negara kita berada dalam sistem demokrasi liberal (1945-1959). Dari segi perusahaannya, kita melihat bahwa dalam perkembangannya perusahaan pers kita sejak dulu sudah saling bersaing satu sama lain, kemudian dalam batas-batas tertentu terdapat seleksi berdasarkan persaingan bebas. Persaingan  bebas pada batas-batas tertentu ini menyebabkan yang kuat, yang berorganisasi baik, cerdik dan ditopang oleh modal besar akan tumbuh dan menjadi besar. Yang tidak kuat, tidak baik organisasinya dan tidak memiliki dukungan kuat, akan gulung tikar.

Dalam segi jurnalistiknya, terutama dalam hal pemberitaan sistem pers kita selama ini pun mirip-mirip sistem Barat, misalnya dalam cara memilih dan menyajikan berita, terutama dengan maksud menarik perhatian pembaca, dengan latar belakang sampai batas-batas tertentu --- berupa pertimbangan-pertimbangan komersial untuk meraup oplah atau tiras yang besar.

Dalam segi politik, kita melihat pers kita selama ini mirip-mirip Pers Barat, atau lebih tegas lagi, mirip sistem pers Belanda dengan organisasi-organisasi politiknya yang banyak itu yang masing-masing memiliki atau sekurang-kurangnya mempengaruhi surat kabar. Oleh karena itu, dalam menggunakan definisi tentang berita pun lebih sesuai jika pers kita berpegang pada definisi berita berdasarkan sistem Pers Barat. Definisi adalah batasan-batasan pengertian tentang sesuatu. Dan definisi tentang berita hendaknya disesuaikan dengan sistem pers dalam masyarakat bersangkutan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrat.Hikmat dan Kusumaningrat.Purnama, Jurnalistik Teori & Praktek.2009, PT. Remaja Rosdakarya:Bandung

No comments