Andai Bukan Kau Istriku | Cerpen
Andai
bukan kau Istriku...
Dengan linangan air mata aku katakan padamu, Andai bukan
kau istriku. . . .
“Pernikahan adalah sebuah komitmen emosional dan juga
hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik.” Olson &
Defrain
Pernikahan menuntut kedewasaan dan pengendalian emosi dari dua orang yang
berbeda kebudayaan yang mendidiknya, berbeda ideologi yang tertanam dalam diri
masing-masing. Satu rumah dengan rumah lain punya semacam hukum tak tertulis
yang membentuk kepribadian seseorang dalam mengendalikan emosi. Dan karena
pernikahan semua perbedaan itu menyatu dalam ikatan rumah tangga.
Sebelumnya aku sendiri tidak pernah menyangka akan menikah secepat itu. Aku
sama sekali tak mengenal calon istriku. Kepribadiannya, budaya di rumahnya,
caranya menyikapi masalah dan memecahkannya. Bahkan kami hanya baru satu kali
bertatap muka tanpa ada sepatah katapun dari kami saat bertemu. Aku hanya
melihatnya dari kejauhan begitupun calon istriku saat itu.
Umur kami masih terbilang muda untuk mengerti apa itu komitmen dan
pengendalian emosi serta penyatuan perbedaan yang membentuk kami. Saat itu aku
berumur 23 tahun dan calon istriku dua tahun lebih muda dariku. Kami tak pernah
benar-benar saling mengenal satu sama lain sebagaimana layaknya sepasang
muda-mudi yang telah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun saling mengenal
meskipun dalam sebuah ikatan ilegal. Tapi kami memutuskan untuk menikah. Ah,
siapkah kami menerima semua perbedaan yang tak pernah diketahui sebelumnya?
Aku melamar seorang gadis yang kemudian menjadi istriku hanya karena ada
suatu keyakinan yang kuat di dalam hati. Begitu hebatnya Tuhan menyisipkan
perasaan yakin akan dirinya. Kali kedua aku bertemu dengannya adalah saat aku
meminangnya. Bertambah kuatlah keyakinan itu. Di pertemuan ke-empat dia sudah
sah menjadi istriku.
Disebuah Mesjid kecil dan disaksikan beberapa orang hari itu aku melafalkan
sebuah ikrar penerimaan yang begitu besar. Aku menerima hak atas dirinya dari
kedua orang tuanya. Aku menerima hak atas kehidupannya. Aku menerima hak atas
dosa-dosanya dikemudian. Begitu besar makna penerimaan yang kulafalkan beberapa
kata itu. Sanggupkah aku?
Hari-hari berlalu bukan lagi sebagai seorang yang memikirkan diri sendiri.
Kini da dua perut yang harus terisi, ada dua tubuh yang harus kulindungi, ada
orang lain yang harus kucukupi kehidupannya, memberinya tempat bernaung,
memberinya rasa aman dan nyaman. Itulah istriku. Dan aku harus rela menunda
studiku untuk bekerja.
Perihal tentang perbedaan, ya jelas banyak perbedaan diantara kami yang
bahkan kadang aku dan dia tak sanggup saling mengimbangi. Bukan hal yang jarang
terjadi percekcokan karena perbedaan pendapat. Sebisa mungkin salah satu dari
kami harus mengalah. Meski itu bukan hal mudah, mengalah untuk orang yang tiba-tiba
da di kehidupan kita.
Istriku banyak sekali kekurangannya yang kadang malah aku tak bisa
mentolerinya. Ia tak pandai mengurus rumah, ia tak pandai memasak, ia tak
pandai bersolek, ia tak pandai bergaul dengan kerabatku. Jika ada sesuatu ia
pun tak pandai bicara dan berkomunikasi. Dia tak pernah sekalipun menyeduhkan
aku kopi, padahal dia tahu kopi adalah kesukaanku. Kadang aku harus masak
sendiri karena masakannya tidak bisa memuaskan lidahku. Dan banyak lagi
kekurangannya. Aku sungguh menyesalkan itu.
Seringkali aku merasa iri dengan teman-temanku yang terlihat bahagia dengan
istri mereka. Dengan bangganya mereka bilang “hari ini istriku masak ini dan
itu, setiap pagi istriku menyeduhkan kopi” dan banyak lagi yang mereka katakan
yang membuat aku benar-benar merasa terhina. Bahkan jika temanku berkunjung pun
aku yang akan menyeduhkan kopi untuknya bukan istriku. Istriku sangat lamban.
Aku tidak suka.
Tidak jarang aku berpikir. “Ah rasanya aku terlalu cepat menikahinya,
sedangkan aku tak benar-benar mengenalnya. Masih banyak perempuan lain diluar
sana. Andai aku tidak tergesa-gesa menikahinya mungkin hidupku tidak akan
seperti ini.” Begitu setan selalu mempengaruhi pikiranku.
Kelahiran pertama anak kami harus dilakukan operasi caesar. Dan tentu saja
itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Berkali-kali aku menyalahkannya, meski
tak pernah aku ungkapkan kekesalanku. “Kenapa harus caesar? ah ini gara-gara
dia yang tidak rajin, gara-gara dia tidak sering jongkok, gara-gara dia yang
tidak rajin jalan kaki, gara dia dan dia” selalu saja pikiranku berkata seperti
itu.
Setelah kelahiran anak pertama kami dia selalu saja mengurusi anak dan aku
semakin tersisihkan. Hari-hari berlalu berganti bulan, musim pun berganti. Anak
pertama kami tumbuh, tetapi badannya sangat kurus dan susah sekali makan.
Lagi-lagi aku menyalahkan istriku yang tidak bisa mengurusnya. Berbagai omongan
orang-orang sekitar yang mengomentari pertumbuhan anakku membuatku semakin
menyalahkannya. “Andai bukan dia istriku, andai dan andai saja...” Selalu saja
begitu pikirku.
Sampai akhirnya karena pekerjaan dan kewajibanku menyelesaikan kuliah. Kami
tidak tinggal serumah lagi. Dari sinilah aku mulai menyadari kekeliruanku
selama ini. Saat terpisah jarak dengannya ada rasa kehilangan yang begitu
dalam. Ada perasaan rasa bersalah telah menyalahkannya selama ini. Meskipun aku
tidak pernah mengatakannya tapi sungguh ini tidak adil baginya.
Dua minggu sekali aku pulang di akhir pekan itu pun jika tidak terlalu
sibuk. Bisa sampai satu bulan aku baru pulang jika memang benar-benar sibuk.
Jarak mengajarkanku untuk menyayangi dengan cara yang benar. Jarak membuatku
mengerti arti sebuah penantian. Jarak membuka mata hatiku untuk memahami arti
pengorbanan dan kesetiaan. Seiring kehidupan yang kami jalani membuatku semakin
mengerti arti sebuah pernikahan.
Ada keteduhan yang kurasakaan saat bersamanya, melihatnya yang menggendong
anak menungguku di pintu sepulang dari perantauan meluluhkan kerasnya hatiku
selama ini. Suatu malam lamat-lamat kuperhatikan wajahnya kala ia tertidur
pulas setelah melalui berbagai drama menidurkan si kecil. Aku tak pernah
memperhatikannya selama ini. Dan aku tertegun saat aku melihat wajahnya begitu
teduh dan bercahaya. Terlihat gurat perjuangan di wajahnya, tersimpul senyum
kesetiaan di bibirnya, terpancar aura hebat dari tubuhnya yang membuatku
benar-benar merasa tenang.
Aku memutar kembali rekaman kehidupan kami dua tahun kebelakang. Dan
menyadari, “Ah, betapa bodohnya aku. Betapa egoisnya aku. Betapa butanya aku
selama ini.” Aku lupa bahwa dia benar-benar selalu ada disisiku selama ini.
Kehidupan kami yang pernah terseok-seok hanya untuk sesuap nasi, dia tetap
setia menemaniku.
Dia tidak pernah menuntut ini dan itu. Bahkan sekalipun dia tak pernah
meminta sehelai baju yang sudah menjadi haknya karna dia tahu aku tidak akan
mampu memenuhinya. Dia begitu sabar selama dua tahun hidup penuh kekurangan
bersamaku. Bahkan ketika aku menjadi pengangguran pun dia tak pernah
menyalahkanku, tak pernah memaksaku, bahkan memintaku pun untuk segera mencari
pekerjaan tak pernah dikatakannya. Dan aku selama ini tak menyadarinya.
Dia begitu menahan keinginannya seperti teman-temannya belanja ini dan itu
untuk memuaskan hasratnya sebagai seorang perempuan. Dia benar-benar menerima
aku yang serba kekurangan saat itu. Aku yang jangankan pekerjaan yang baik,
bahkan kuliahku pun terbengkalai karena harus bekerja serabutan. Tapi dia tak
pernah menyalahkanku. Malam itu aku benar-benar mengutuk diriku. Aku tak mampu
lagi membendung air mataku. Aku bahkan tak sanggup menatap wajahnya yang tengah
tertidur pulas. Begitu malunya aku padanya. “Maafkan aku sayang.” Lirihku.
Bukankah aku sudah menerimanya, ada ikrar penerimaan agung yang telah
kulafalkan. Dan aku melupakannya begitu saja. Lagi-lagi aku mengutuk diriku.
Sejak malam itu aku berjanji pada diriku sendiri akan melakukan apapun
untuknya. Untuk kehidupannya. Aku akan belajar lebih giat, bekerja lebih keras
untuk memberikan kehidupan yang layak untuknya. Aku rela menghabiskan semua
waktu istirahatku untuk memperjuangkannya.
Hari-hari kujalani dengan penuh penerimaan kekurangan yang dimiliki
istriku, toh bahkan memang tidak ada istri yang sempurna di dunia ini. Pun aku
juga bukan suami yang bahkan sangat jauh mendekati sempurna. Tapi aku berjanji
akan menjadi suami yang terbaik untuknya.
5 tahun sudah pernikahan kami lalui. Dan aku tak pernah berhenti bersyukur
telah dianugrahi seorang yang luar biasa. Seorang yang jika aku didekatnya maka
hilanglah semua kegelisahanku, hilang semua kepenatan atas pekerjaan dan studiku,
hilang semua hal yang membuatku tak bisa tidur. Berada di dekatmu ketegangan di
kepalaku mereda. Kenyamanan yang membisu bak gula yang meleleh ke dalam kopi
yang selalu kuseduh setiap pagi.
Kami dikaruniai dua bidadari cantik yang luar biasa. Anak pertama kami
tumbuh dengan sangat baik. Bukan hanya wajahnya saja yang cantik tapi
perangainya juga sangat elok. Belum lagi kecerdasaannya yang begitu mengagumkan
untuk anak seumurannya. Ah, tentu saja ini semua adalah berkat perannya sebagai
ibu, semua usahanya selama ini, semua perjuangannya.
Bagaimana lagi aku harus bersyukur telah memilikimu. Bahkan setiap untaian
do’a yang kupanjatkan atas namamu pun aku merasa tak akan pernah cukup
mengganti semua cinta, perjuangan, pengorbanan dan kesetiaanmu. Aku hanya bisa
memberikanmu sebuah kendaraan. Kendaraan yang akan membawamu ke syurga. Bertemu
dengan sang Maha Cinta. Nama yang selalu kau sebut.
“Ah, Sayangku.. Andai bukan kau Istriku. Mungkin aku sudah ditinggalkan.
Mungkin akan selalu terjadi pertengkaran dalam rumah tanggaku dan bahkan bukan
suatu hal yang tidak mungkin terjadi perceraian.”
“Andai bukan kau Istriku, niscaya aku tak akan sanggup melewati masa-masa
krisis kita dulu.”
“Andai bukan kau Istriku, aku tak tahu akan seperti apa hidupku sekarang.”
“Andai bukan kau Istriku.”
“Betapa beruntungnya aku kenyataan bahwa kau lah istriku. Kaulah yang
terbaik yang diberikan Tuhan untukku.”
-Semoga Allah ridho atas pernikahan kami. Dan menjaga kami hingga ke
syurgaNya-
Post a Comment