SENJA DI ATAP GENTENG BAGIAN 3 (DIARY SEORANG SANTRI)
SENJA DI ATAP GENTENG BAGIAN 3 (DIARY SEORANG SANTRI)
Sore esoknya aku dan Ical pergi ke
balai kota untuk menyerahkan cerpen yang akan dilombakan. Masalah izin sudah
dia atasi. Kami harus kembali sebelum pukul 5 sore. Pemenang lomba akan
diumumkan seminggu kemudian di panggung acara yang diadakan Bupati di alun-alun
kota.
Ical kembali memintakan izin agar
kami diperbolehkan pergi ke alun-alun untuk mendengar pengumuman pemenang
lomba. Seperti biasa kami diperbolehkan sampai jam 5 sore.
Minggu sore, alun-alun. Terletak
dipusat kota. Bersebelahan dengan Mesjid Agung. Lapangan luas tapi terlihat
sesak dengan banyak orang berkerumun di depan panggung. Beberapa local tenda
terpasang di sekitar panggung. Memang tak hanya Lomba Cerpen saja yang diadakan
tapi berbagai lomba, seperti lomba pramuka, lomba melukis, lomba kreasi patung
dan bahkan lomba membuat tumpeng pun ada. Pantaslah lapangan luas itu terasa
penuh dan sesak. Kami tiba disana pukul 15.38 Ical menanyakan ke panitia kapan
pengumuman lomba cerpen dibacakan. Memastikan kita tidak terlewat.
MC pun dengan meriah membacakan
pemenang berbagai lomba. Hingga tiba saatnya mengumumkan lomba cerpen. Aku tak
begitu berharap akan memenangkan. Berbeda dengan Ical dia ngotot harus menang.
Pikirnya dengan uang hadiah kami bisa membeli beberapa Novel baru.
“Baiklah, sekarang pengumuman
pemenang lomba cerpen tingkat Sekolah Menengah”
Suara MC menggelegar dilatari music
menegangkan.
“Juara ketiga, diraih oleh Kelas 2
SMA atas nama, jeng jeng jeng jeng. . . . Herman Adi”
Seketika suara penonton bergemuruh
bercampuran dengan tepuk tangan.
“Juara kedua, Kelas 3 SMP”
MC menjeda kalimatnya, membuat
jantung terpicu. Menegangkan.
“Musa Firmansyah”
Tak sadar aku berseru, yes!! Ical
lebih parah lagi, dia bersorak riang dan meloncat-loncat. Seakan-akan dialah
pemenangnya.
“Mus, kau menang mus!”
“Iya cal, terimakasih”
Padahal aku jauh lebih girang.
“Dan yang pertama”
Kembali suara MC membuat jantung para
peserta lain berdegup kencang. Sebagian menengadahkan tangan memohon namanya
disebut.
“Kelas 3 SMP”
Semakin membuat penasaran. Dan
sebagian mengaduh. Mungkin merka yang bukan kelas 3 SMP.
“Rizki Septiana.” Kepada para
pemenang harap naik ke panggung”.
“Apa?”
Apa aku tak salah dengar. Ah mungkin
namanya saja yang kebetulan sama. Tapi ketika aku berjalan menembus kerumunan
orang untuk maju ke atas panggung kami bertemu tatap di akhir kerumunan orang
sebelum naik. Dan kudapati senyum itu lagi. Ya, senyum yang sama seperti saat
pertama bertemu. Senyum yang setiap jum’at selama setahun kebelakang selalu
kutunggu. Senyum yang membuat para penjaga toko buku menatapku curiga. Senyum
yang kurindu. Kini terbayar lunas.
Bersambung. . . . .
Post a Comment