Cerpen | Perempuan Ynag Kuminta Dari Tuhan Bagian 3
Cerpen | Perempuan Ynag Kuminta Dari Tuhan Bagian 3
4 bulan berlalu kisah percintaan kami yang dipisahkan samudra. Kami berencana untuk segera menikah. Suatu malam Laila mengabarkan bahwa kakak perempuannya Ichi akan ke Jakarta untuk menghadiri sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Ichi memang pernah tinggal di kampung bersama Nenekku dulu sekali saat aku masih kecil. Kedekatanku dengan Laila membuat aku dan Ichi juga jadi dekat. Ichi memintaku untuk menjemputnya di bandara dan mengantarnya ke lokasi pelatihan.
“it’s the biggest surprize I’ve ever
had!” Sesampainya aku di bandara aku melihat Laila yang mengenakan kemeja
coklat kotak-kotak. Ini benar-benar suatu kejutan. Pantas saja Ichi memaksaku
untuk menjemputnya. Bertemulah kami sepasang kekasih yang terpisah Laut, Leuweung, Gunung.
Sebelum kepulangan Ichi dan Laila, mereka mengajaku untuk ikut. Katanya
juga untuk mempertemukan aku dengan
kedua orang tuanya dan membicarakan rencana pernikahan kami. “Oh, Tuhan secepat
inikah” Pikirku.
Ichi sebagai anak tertua mewakili Ibu dan Ayahnya menyampaikan maksud itu
pada Mama. Dan tentu saja Mama merestuinya. Dimata Mama Laila adalah sosok
gadis baik. Ah, lagipula Mama tak pernah mempermasalahkan dengan siapapun aku
dekat. Satu pesannya yang selalu aku ingat adalah “Carilah perempuan yang bisa menyayangimu,
dan menyayangi keluargamu.” Itulah yang selalu Mama katakan jika aku
mengenalkan seorang gadis padanya.
Aceng memberikan semua uang yang dia punya untuk menambah bekal
keberangkatanku. Ah, betapa beruntungnya aku punya sahabat sepertinya. Dan
berangkatlah kami beberapa hari kemudian.
Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang rencana pernikahanku dengan
Laila. Kami berceria tentang bagaimana nanti kami akan menjalani hidup. Ah,
semua begitu indah. Kami berdua terlena sebagai sepasang kekasih yang akan
menikah. Sebuah kehidupan sempurna yang aku dambakan.
Sesampainya disana rencana untuk membicarakan tentang pernikahanku dengan
Laila yang seharusnya membahagiakan berubah menjadi momen yang menyakitkan
sepanjang perjalanan hidupku.
Aku tak bisa menceritakan apa yang terjadi saat itu. Intinya kami tidak
bisa menikah. Laila mengejarku ke terminal dan memintaku untuk membawanya kabur
ke Jakarta.
“Bawa aku Mang! Aku tak peduli kehidupan kita nanti bagaimana. Aku mau
hidup sama kamu Mang.” Suaranya parau, Laila tak bisa mempertahankan kekokohannya
untuk tidak menangis. Airmatanya jatuh luruh begitu saja. Tatapannya penuh
harap. Terus saja dia merajuk memintaku untuk membawanya.
“Bawa aku! Aku mohon Mang, aku ikut ke Jakarta.” Ah, wajahnya saat itu tak
bisa aku gambarkan dengan kata-kata.
“Aku tak keberatan hidup sederhana Mang. Asal bersamamu. Jadi kumohon!”
Dalam benakku “Sedalam itukah kau mencintaiku Laila.” Ingin sekali kuraih
tangannya yang terlihat rapuh itu. Kudekap tubuhnya penuh cinta dan kubisikan
“Ayo, kita pergi dan hidup bersama.” Tapi kalimat itu tak pernah ku ucapkan.
Dengan berat hati kukatakan padanya “Tidak! Kewajibanmu taat pada orang
tuamu. Bukan padaku. Aku belum menjadi suamimu.”
Laila masih terisak dalam tangisnya. Seakan-akan ia tak rela aku pergi
meninggalkannya. “Kita kawin lari Mang! Agar gugur semua kewajiban taatku pada
mereka.” Tatapan mata yang penuh pengharapan. Perlahan Laila menundukan kepalanya.
Aku mengusap air matanya yang sedari tadi dibiarkan mengalir di pipinya
dengan ujung kaos lengan panjang yang kukenakan. Kupegang kedua pundaknya.
“Laila, dengarkan aku!” Laila mengangkat wajahnya perlahan. Mata kami saling
bertemu. Masih kulihat pengharapan di matanya. “Kita punya Tuhan Laila. Jika
kau menginginkan aku, mintalah aku padanya sebagaimana aku memintamu padanya.
Jika itu baik untuk kita, biarlah Tuhan yang mengaturnya.”
Laila kembali menundukan kepalanya.
“Sekarang pulanglah. Mereka mengkhawatirkanmu.”
Laila menggelengkan kepalanya perlahan. Kepalanya masih tertunduk pilu.
Tangannya kuat mencengkram lenganku. Tak dibiarkannya aku beranjak barang
seinci pun.
“Laila, jika kau mencintaiku pulanglah sayang. Dan biarkan aku pulang!”
“Bagaimana aku akan membiarkanmu pulang sendiri, sedang begitu berat
kesedihan yang tengah kau pikul Mang. Setidaknya izinkan aku pergi bersamamu,
biar kita tanggung bersama.”
“Sungguh aku tak apa Laila. Lihatlah
apa aku terlihat bersedih dan menangis?” aku berusaha tersenyum di depannya.
“Baiklah Mang. Tapi kau harus berjanji! Kembalilah suatu saat nanti. Jemput
aku ketika semuanya sudah memungkinkan. Berapapun lamanya aku akan menunggumu.”
Laila meraih lenganku yang sedari tadi digenggamnya. Mendekatkan tubuhnya
padaku dan mendekapku dengan sangat erat. Saat itu aku merasakan firasat bahwa
itu adalah pelukan terakhirnya.
Setelah memastikan Laila pulang. Aku segera masuk kedalam Bus yang akan
mengantar kepulanganku. Bus yang akan menemaniku merayakan kesedihan dalam 3
hari kedepan. Langkah pertama kunaiki bus aku sudah tak kuat membendungnya.
Airmataku jatuh luruh tak tertahan lagi. Tubuhku gontai mencari nomor kursi
tempat dudukku. Tak kupedulikan reaksi para penumpang lain yang melihat banjir
air mataku. Setelah menemukannya aku segera duduk, menyandarkan kepalaku dan
mengusap wajah menyeka mataku yang sembab.
“Ma, aku pulang. Calon menantumu gagal
kubawa.”
Bersambung....
Baca Bagian ke 4
Post a Comment