GADIS KERETA | Cerpen
Hari beranjak gelap, senja sudah tak kudapati. Aku terlalu sibuk mengemas rindu. Mencari cari di kedalaman masa lalu. Tentangnya, tentang senyumnya. Tentang rindu yang tak pernah habis dimakan waktu. kereta tak menghentikan lajunya.
Kulihat arloji di pergelangan tanganku jarum jam hampir
menunjuk angka enam. arloji Seiko dengan kacanya yang retak. Tak pernah kuganti
sejak berpindah dari tangan empunya 7 tahun silam. Aku membiarkannya tetap
retak. Untuk mengingatkanku bahwa waktu tak abadi.
Keratakan pada kacanya menurutku sebuah tanda bahwa jarum itu
telah menempuh ribuan kilo jarak dari setiap angka ke angka berikutnya. Itu
menunjukan betapa keras perjuangannya hanya sekedar untuk menunjukan angka.
Aku sanggup membeli yang baru, yang lebih bagus dan lebih
mahal. Tapi tak akan ada jam baru dengan kaca yang retak. Aku menyukainya. Dan
biarkan ia tetap begitu sampai ajalnya.
Arloji ini milik Wa Isur (kakak dari bapak) dia menjualnya
dengan harga 120 ribu. Katanya jam itu pemberian menantunya. Dengan alasan
untuk membeli beberapa kretek untuk beberapa hari kedepan ia rela melepasnya.
Kuberikan tiga lembar uang limapuluh ribuan dan sebungkus
kretek kesukaannya. Kubiarkan saja pipi tuanya bertambah kempot menyesap tembakau
yang membuatnya mati 2 tahun kemudian. Ah, dosakah aku?
Decisan rem kereta menyadarkanku dari lamunan. Diiringi suara khas announcer. “kereta anda
telah tiba di stasiun Karawang” diikuti pemberitahuan berbahasa inggris. Nada
yang tak pernah berubah sejak pertama kali aku naik kereta. Kupikir keluar
sejenak akan lebih baik. Menghirup udara yang sebenarnya tak akan segar.
Karawang adalah kota industry besar.
Tentu saja udaranya bercampur dengan berbagai zat yang setiap
detik keluar dari cerobong-cerobong raksasa itu. tapi masabodo lah, aku keluar
bukan untuk itu. aku hanya ingin menyesap kretek yang belum sempat ku buka. Aku
membelinya di warung cak romli di dekat rumah. Warung Madura adalah pilihan
tepat untuk belanja barang kebutuhan sehari-hari.
Setidaknya setiap jengkal warung di Jakarta kawasan penduduk
menengah kebawah pasti ada warung Madura. Fakta yang belakangan ku ketahui.
Mereka rela hidup diruang sempit demi menjajakan harapan. Tapi jangan salah,
meski dijakarta mereka tinggal diwarung yang sempit. Rumah-rumah mereka
dikampungnya megah dan besar. Merekapun tak setiap tahun di Jakarta. Setiap
empat bulan sekali mereka berganti shift.
Cak romli entah penjaga warung yang keberapa. Aku sampai
lupa. Dia sudah 3 bulan menjaga warung itu. dan fakta lainnya adalah jarang
sekali kedapatan penjaga warung yang sama kembali. Pasti saja selalu berbeda
setiap empat bulannya. Aku tak pernah menanyakan perihal itu. biarlah tetap
menjadi rahasia mereka.
Tak habis sebatang kretek ku, kereta sudah membunyikan klakson
nya bersiap berangkat. Aku segera membuang, bergegas kembali ke bangku sunyi
gerbong depan kereta. Tapi ketika aku hendak masuk ke barisan bangku D15
seorang perempuan tengah asik duduk. Jari jarinya lihai mengoleskan bedak di
pipi beningnya.
“maaf mba, itu kursiku!”
“eh maaf mas, aku kira kosong. Kursi saya D16, disampingnya.”
Dia berhenti bersolek dan bergeser kesampingnya. Aku baru
sadar ternyata kursi di gerbong depan itu hampir penuh diisi penumpang. Aku
melangkahinya dan memberi senyuman kecil lantas kembali duduk. Mencoba
mengulang kembali lamunan yang sempat terhenti. Namun gagal, perempuan itu tak
bisa diam. Ia terlalu banyak bicara untukku yang sedang ingin sendiri.
“arep neng ndi mas se?”
“Solo mba.”
Aku mencoba meladeninya. Aku tak ingin dicap sebagai
laki-laki jutek yang tak mau berbicara dengan perempuan desa. Itu tidak indah.
Aku selalu ingat pesan ibu. “dimanapun kau berada. Berbuat baiklah pada orang
lain.” Berbalas sapa pada penumpang yang baru bertemu kurasa bukan suatu hal
yang buruk.
“wah sama mas. Solo ne ndi mas?”
“Boyolali mba.”
“ooh aku Surakarta mas.”
Aku hanya membalas dengan senyuman.
“namaku Sri mas”
Ia menyodorkan tangannya.
“Musa.”
Jawabku singkat.
Perempuan it uterus saja bicara. Kutebak umurnya tak jauh
dariku. Sri Rahayu namanya. Ia bekerja di salah satu pabrik sebagai operator
assembling. Umurnya 23 tahun meleset dari dugaanku. 6 tahun jarak antara kami. Tangannya
mungilnya kasar. Berbeda dari kebanyakan tangan seumurannya. Ya aku tahu, dia
adalah gadis pekerja keras.
Sri tak seperti kebanyakan perempuan jawa yang pendiam dan
kemayu. Ia adalah kebalikannya. Aku tak tahu memang sifatnya seperti itu atau
kota industry yang membuatnya begitu. Banyak hal yang dia bicarakan sekalipun
aku tak menanyakannya. Dia baru saja habis kontrak dan memilih untuk pulang
kampung. Katanya ia ingin membuka usaha saja dikampung. Entahlah, atau mungkin
dia akan menikah pikirku.
9 jam kedepan bangku itu tak lagi sepi. Bahkan ketika
penumpang lain terlelap dibuai mimpi. Bangku itu tetap berbincang meski volume
suaranya semakin kini semakin kecil. Obrolannya cukup nyambung, mengingat aku
juga pernah bekerja di salah satu pabrik raksasa di kawasan industry MM2100
Bekasi.
“mas se wes menikah?”
Pertanyaan yang tiba-tiba membuatku terdiam. Situasi berubah
jadi canggung. Kenapa juga kau harus tanyakan itu sri. Tidak kah kau tahu
situasiku saat ini. Ah, tapi itu bukan salahmu sri. Kau memang tak tahu. Aku
terus meracau dalam hati.
“maaf mas, kalo saya lancang?”
Aku hanya tersenyum kecil.
“taka pa sri, aku belum menikah”.
Dia hanya mengangguk meng-oh.
“kau sendiri sendiri sudah menikah sri?”
“belum mas. Aku terlalu sibuk memasang-masangkan bearing.”
“oh iya ya, kau sibuk hidup diantara dua mimpi ya sri” sambil
terkekeh aku nyeletuk.
Dia keheranan apa maksud dari yang kuucapakan barusan.
“maksudne opp toh mas?”
“ ya gitu sri. Kau sudah berangkat kerja sedang orang masih
bermimpi. Sedang kau baru pulang saat orang-orang sudah kembali bermimpi. Hidup
diantara dua mimpi. Begitu kan”
“oooh, mas bisa aja”.
Tak kusangka ia genit mencubit tanganku sambil meng-oh
panjang. Aku balas senyum saja.
“mas kerja apa sekarang?”
“Aku seorang Jurnalis sri.”
“ooh, yang suka bawa-bawa kamera itu ya?”
Dia melihat-lihat sekeliling ku. Mungkin dia mencari kamera.
“kok mas ga nenteng kamera?”
“aku pergi bukan untuk bekerja sri.”
“mau melamar gadis solo ya mas? Hehehe.. ”
“haha, so tahu kau sri.”
Malam semakin pekat, pendingin kereta berfungsi dengan baik.
Sepi, hanya terdengar suara gesekan rel dan roda kereta, sesekali klakson
lokomotif melolong menembus malam yang semakin mendekati puncaknya. Gadis itu
tertidur lelap setelah beberapa jam mulutnya tak henti meracau tentang apa saja
yang dialaminya selama tiga tahun terakhir sejak ia merantau di kota.
Aku sama sekali tak berniat memejamkan mata. Suara kereta
terdengar seperti nyanyian dengan nada yang begitu-begitu saja. bodoh, gadis
itu tak memakai jaket. Selimut yang diberikan petugas pun tetap berada
ditempatnya. Diatas kursi. Kulirik dia terlelap dan kedinginan. Mungkin dia
capek telah seharian bekerja. Atau dia sibuk berkemas menanti-nanti
kepulangannya. Tanpa sadar aku menyelimutinya dengan selimut di bangku ku.
Sedang selimutnya tertindih sandaran kepalanya.
Usai kututupi tubuh menggigilnya kupalingkan pandanganku ke
jendela yang sejak tadi menunggku. Mengajakku kembali bernostalgia. Tapi
pandanganku kembali pada gadis itu. ia membenarkan selimutnya dan kepalanya
bergeser berpindah kepundakku. Biarlah pikirku. Aku kembali memutar memoar yang
telah memenuhi kepalaku sejak keberangkatan sore tadi. Berteman jendela kereta
yang setia menanti aku kembali berselancar dalam nostalgia.
Tak sempat aku memutar ulang memoar kisah si bulan September
itu. aku terlelap begitu saja dikesunyian malam. Diatas kereta. Kereta yang akan
membawaku padanya.
Kereta tiba tepat pukul 02.30 di stasiun Balapan Solo. Aku
bergegas keluar meninggalkan kereta. Suara gadis itu menghentikan langkahku.
“Mas tunggu!”
Aku tak mengerti. Kenapa dia memanggilku. Bukankah sudah
biasa perkenalan terjadi di setiap angkutan umum jarak jauh dimanapun itu. dan
berakhir begitu saja. dan gadis pekerja keras itu malah memanggilku.
“Mas mau kemana?”
“aku mau ke penginapan sri. Besok pagi baru ke boyolali.”
“Mending mas ikut aku saja. besok pagi biar adikku yang
mengantar mas.”
Aku tak tahu ternyata gadis itu membawa sebegitu banyak Tas
dan beberapa Kardus Mie Instan yang entah apa di dalamnya. Dia terlihat sangat
kerepotan. Dan sedikitpun aku tak peka akan situasi itu. aku pun berbalik dan membantu
membawakan beberapa jinjingannya.
“Tak usah mas. Biar aku saja.”
Tanpa mempedulikan kata-katanya aku langsung menyambar
kerdus-kerdus itu dan beranjak keluar kereta.
“adik ku sudah menunggu diluar mas.”
Sambil menunjuk pintu keluar selatan stasiun. Dia mendahului
lajuku. Seperti guide yang memang sangat mengenal daerah ini. Di pintu keluar
berdiri seorang pemuda. Kurasa umurnya sekitar 17 tahun. Disampingnya orang tua
memakai blangkon di kepala.
“Sopo iki mba?”
“Koncoku nang Jakarta.”
“jangan-jangan pacarmu mba.”
“hus ngaco koe.”
Keduanya terkekeh sambil merilik padaku. Sri mengenalkan
keduanya padaku dan begitu sebaliknya. Adiknya yang kelas 2 SMA itu bernama
Fajar. Sedangkan pak Tua dengan blangkon itu Pak Dhe Tresno. Tetangga sri yang
mobilnya disewa untuk menjemput sri. Mini bus Zebra berwarna biru. Benar-benar
terlihat tua.
“baiklah sri, sampai disini ya. Aku sudah memesan hotel dekat
sini.”
“lha piye iki. Wes mas ikut aku saja. besok Fajar anterin mas
ke boyolali.”
“iya mas. Wes bengi iki.”
Kedua kakak beradik itu seperti sepakat mengajakku. Tapi aku
tetap menolak dengan lembut.
“Baiklah kalau mas tetap tak mau. Setidaknya biar kami antar
dulu ke hotel ya.”
Sebelum kutolak tawarannya rupanya sri lebih dulu memotong.
“wes ra usah nolak mas. Rejeki tak boleh di tolak mas.”
Aku pun mengangguk, dan segera membantu memasukan
kerdus-kerdus itu.
Tak lebih dari 15 menit aku sampai di hotel yang sudah
kupesan melalui aplikasi ponsel. Kami pun saling mengucapkan terimakasih.
Sebelum berpamitan sri meminta nomor ponselku. Dan meminta menyempatkan diri
untuk mampir ke kampungnya. Aku pun mengiyakan.
Setelah melakukan konfirmasi pesanan. Seorang pelayan
mengantarku menuju kamar yang terletak di lantai 2 di pojok gedung dengan
jendela yang menghadap ke persimpangan jalan.
Setelah mandi dan berganti pakaian. Aku duduk di bangku
samping ranjang. Kuraih ponsel ku yang tergeletak diatas meja nakas. Kulihat
foto gadis yang menjadi wallpaper ponselku. Gadis yang sama yang kutemui 17
tahun silam di bulan September. Hanya beberapa hari lagi akan genap 17 tahun
sejak pertemuan pertama itu.
Solo.
Jarum jam arloji tua yang retak kacanya menunjukan pukul 6.40 aku duduk di
lobby hotel menuggu driver online yang kupesan datang menjemput. Tak sampai 10
menit dia datang dan mengabarkan sudah sampai di depan. Aku pun bergegas keluar
dan segera masuk ke mobilnya.
Mini
bus keluaran terbaru dengan pengharum yang super wangi tergantung di setiap
sudut mobil. Melaju membelah kota solo menuju tempatnya. Dia. Yang kunantikan
setiap hari jum’at 17 tahun silam.
Post a Comment