Header Ads

Laila dan Secangkir Kopi Hitam | Cerpen

 Aku, Kau dan Secangkir Kopi Pahit

 

kopi atjeh

Malam berangsur dingin, terlebih angin hujan terus menghembuskan nafas panjangnya. Meski hujan telah usai. Hawa dingin masih selaras dengan panjangnya malam yang akan kulalui. Kopi yang kuseduh beberapa menit yang lalu tak lagi panas. Namun bara-bara keangkuhan cukup menghangatkan. Kepulan asap yang menari nari seirama hembusan angin sisa hujan. Sesekali kusesap kopi dalam cangkir putih yang tak lagi panas itu. aah, satu-satunya yang tak pernah hilang dari ingatanku adalah cangkir kopi yang pernah kau suguhkan itu. Kopi pahit tanpa gula di malam itu kau seduhkan, cangkir keramik berwarna hitam membuatnya semakin terlihat pekat.

Aku mengenalmu melalui kopi. Aku mencintai kopi seperti barista mencintai cangkirnya. Kau menyayangi kopi seperti petani menyayangi kopinya. Kita saling mencinta. Benar-benar gila. Bahkan terlalu gila. Meski kopi yang kita suka berbeda. Nyatanya itu membuat rasa kita sempurna. Kau lahir di dataran penghasil kopi robusta. Sedang aku lahir di jagat kopi arabika. Sungguh berbeda. Benar-benar berbeda. Tapi sekali lagi kutegaskan kita sempurna.

 

“maaf, apa bangku ini kosong?”

“iya kosong.”

“boleh saya duduk?”

“silahkan bang.”

Itulah kalimat pertama yang saling kita lontarkan. Yang membawa kita pada satu kenyataan bahwa aku, kau dan cangkir kopi adalah sempurna.

“dari mana mba nya?”

“dari riau bang. Kalo abang nya?”

“saya dari bandung. Sudah lama menjadi guru?”

“belum lama bang, saya pun masih kuliah.”

“lah ko bisa? Ini kan pelatihan untuk guru!”

“hehhe, iya bang bapak saya punya sekolah. Jadi selagi libur kuliah saya bantu mengajar. Dan ditugaskan untuk ikut pelatihan ini.”

“oalah, pantas saja.”

“bang sendiri sudah lama jadi guru?”

“belum lama mba. Baru setahun.”

“eh, nama saya Laila bang.”

“oh ya, sampai lupa berkenalan. Saya Harun”

“kopinya kurang enak ya bang.”

“wah mba Laila rupanya ngerti taste kopi ya.”

“ah, panggil saja laila bang. Ga begitu juga bang. Cuma ya suka sama kopi.”

“jarang sekali perempuan suka kopi.”

“hehhe, biasa saja laa bang.”

 

3 hari pelatihan guru yang diselenggarakan oleh Kemendiknas itu memberikan kesan yang hebat. Bukan soal pelatihannya. Tapi soal perempuan pecinta kopi yang kutemui disana. Yang kemudian itu adalah kau. Ya, tentu saja kau dan cangkir kopi yang selalu menemani kita setidaknya 30 menit sampai coffee break usai.  Kota bogor, menjadi saksi pertama antara kau, aku dan secangkir kopi.

5 bulan berlalu tak seharipun kulewatkan berbincang denganmu. Meski hanya lewat chating atau telepon. Kita terbatasi ruang. Sumatra dan jawa. Ah bagaikan lagu darso yang sering diputar Mang Oyen di warkopnya.

Kukatakan padamu aku mencintaimu. Bak gayung bersambut ternyata kaupun begitu. Maka saling cinta lah kita. Secinta-cintanya kita pada kopi. Akupun semakin giat menabung rindu untuk membeli temu. Setiap kuseduh kopi, kutitipkan salam untukmu pada buihnya. Kusematkan do’a seiring mengepulnya aroma yang penuh harap.

“Bang, aku libur semester bulan depan. Sebelum bulan puasa jika berkenan boleh lah abang main kemari.”

“Benarkah, Laila?”

“iya bang, akan kukenalkan abang sama mamah dan bapak.”

Siapapun akan bahagia jika mendapati kabar demikian. Hampir satu tahun aku mengenamu. Tak terhitung berapa rindu yang kutabung untuk bertemu. Hari itu akan tiba. Kurasa tabungan rindu pun sudah cukup untuk membeli temu. Aku pun setuju.

Sebungkus kopi arabika gunung puntang akan membawaku padamu Laila. Kubilang pada ibu aku akan menjemput cinta, mohon sematkan do’a untuk anakmu bu.

Pesawat mendarat pukul 14.28 aku masih mengingatnya Laila. Sebab setiap detik kuhitung tak sabar aku ingin bertemu denganmu. Senyum dan pelukan menyambutku di bandara Sultan Syarif Kasim II sore itu. terbeli sudah temu yang kudamba. Tak payah aku menabung rindu.

Lantas kau membawaku ke kedai kopi. Kau pesankan aku kopi gayo. Kau memang benar-benar mengenalku Laila. Kau tahu kopi mana yang akan kuminum. Ah, tapi kopi apapun itu asal bersama mu saat itu aku tak peduli.

Malam itu pun kita lunasi rindu yang selama ini kita gadaikan. Kota Pekanbaru. Menjadi saksi kedua antara kau, aku dan secangkir kopi.

“bang, besok ya kita pulang kerumah. Jarak nya cukup lama pun. Malam ini abang tidur di kost kawanku ya. Deket dari kost ku kok bang. Cuma besebrang jalan.”

“baiklah, yasudah kita kesana sekarang. Malampun sudah larut. Abang lelah Laila.”

Kau tahu Laila, kawanmu itu bercerita padaku. Bahwa kau benar-benar mencintaiku. Katanya setiap hari kau bercerita tentangku pada semua kawanmu. Ah, itu sangat membuatku merasa ada.

Pagi itu, kau datang padaku dengan cangkir hitam. Aroma kopi meluap luap disekitar cangkir itu. itu adalah cangkir pertama kopi yang kau seduhkan untukku.

7 jam perjalanan dari kota pekanbaru menuju ujung riau. Tepatnya kabupaten Rokan Hulu. Sepanjang jalan kau selalu berbicara tentang kopi, tentang kita, dan tentang masa depan seperti apa yang akan kita jalani. Ah, sungguh Laila. Itu membuatku merasa ada.

Sampai di ibu kota rokan hulu tepatnya daerah yang bernama Pasir Pengaraian masih harus naik ojeg motor 1 jam lamanya menuju nama-nama desa dengan angka. DK-1, DK-2 ,Dk-3 , dan Dk-4 adalah rumahmu.

Hari itu kukira semua akan berjalan baik-baik saja Laila. Kukira tak akan ada airmata. Kukira bahagia yang akan kita dapati. Rupanya mamah, bapakmu tak merestui kita sebab aku miskin. Ini bukan salahku Laila, sungguh terlahir miskin bukan salahku. Akan jadi salahku jika aku membawamu pada hidup sengsara. Barulah salahku jika aku mati tetap miskin. Tapi sayangnya orang tuamu tak mengerti itu Laila.

Kau tahu Laila, hari itu juga aku pulang. Berat meninggalkanmu yang terisak tangis dan terkurung ego mereka. Tapi siapalah aku Laila? Membawamu lari? Seperti inginmu? Tidak Laila, aku bukan lelaki seperti itu. maaf Laila saat itu aku pulang. Bukan berarti semua cintaku luntur sebab semua perlakuan orang tuamu padaku. Cintaku padamu tetap ada Laila. Akan tetap kuat sekuat pahitnya kopi meski dicampur gula sekalipun. Hanya saja cintaku padamu akan kutitipkan sementara pada cangkir-cangkir yang akan menemani pedihku.

Laila, perempuan kopi. Begitu aku akan mengenangmu. Aku tak ingin tentangmu hilang begitu saja. akan kubuat namamu abadi dalam tulisanku.

 

1 comment:

  1. Keren. Bahasanya mengalir, jadi berasa masuk ke ceritanya yang berakhir sedih hehe. 😅

    ReplyDelete