Header Ads

Setoples Rindu Untuk Lyra | Cerpen

 

Malam ini secangkir kopi dan puntung-puntung inspirasi menemaniku merayakan sepi. Setidaknya aku tidak benar-benar sendiri menyelami malam yang semakin dingin, semakin sunyi dan sepi. Kopi hanyalah satu-satunya temanku yang selalu menjadi saksi betapa hebat rinduku. Ah aku bukan ingin menceritakan tentang kopi, bukan. Ini semua tentang aku yang begitu rajin menabung rindu hanya untuk membeli temu yang tak pernah direstui takdir.

Entah berapa banyak prosa, hikayat, puisi yang menceritakan tentang rindu. Tentang betapa hebatnya rasa itu yang bahkan bisa dengan tega setiap saat membunuh dan menghancurkan setiap perindu. Aku tak peduli. Aku tak peduli dengan cerita mereka, kisah mereka, perasaan mereka. Aku tak peduli dengan rindu yang mereka agung-agungkan. Aku hanya peduli pada rasa saat ini yang ingin kusebut rindu. Tapi berhak kah aku? Kemana jua rinduku harus berlabuh.

Aku rela jika setiap kali aku merindu aku harus tega menikam hatiku, membunuhnya, menguburnya dalam ruang penglupaan. Sejak dulu, setiap kali aku merindu aku membuatkan bintang dari lipatan kertas dan kutulis namamu lalu kusimpan baik-baik dalam toples kaca yang kutempelkan tulisan bertuliskan “RINDU UNTUK LYRA” .

Aku tahu kau punya temanku, tapi aku tak bisa bohongi diriku. Setiap kali aku melihatmu bermesraan dengannya bisa kau bayangkan bagaimana hatiku saat itu. Tapi kupastikan kau tak akan pernah tahu. Aku adalah orang yang paling hebat menjaga cinta. Di depanmu dan didepannya aku bisa tertawa terbahak bersama menceritakan kekonyolan-kekonyolan dan percandaan yang akan membuatmu ikut tertawa. Tapi tidak kah kau tahu dibalik semua itu aku menyimpan kekonyolan diriku sendiri atasmu.

Hidupku penuh dengan gurauan, tapi percayalah cintaku tak pernah bergurau. Bagiku melihatmu bisa tertawa penuh bahagia sudah lebih dari cukup. Biar aku saja yang menanggung perasaanku. Pun aku tak pernah menyebut itu beban. Kerelaanku adalah bukti cintaku.

Aku adalah saksi perjalanan cintamu dengan kekasihmu yang juga temanku. Semua hal aku tahu, setiap momen indahmu aku menyaksikan dengan penuh haru dan pilu. Aku hanyalah sebuah simbol (+) diantara x dan y dalam persamaan linier yang membuat kau dan dia satu. Aku adalah kertas antara pena dan tinta yang membuat kisahmu dan kisahnya bahagia. Aku adalah bilangan prima dalam aritmatika yang membuat kalian tidak bisa dibagi dua. Aku hanyalah substitusi dalam rumus matematika yang menggantikan bintangmu jika ia tak mampu bersinar untukmu.

Aku hanyalah pengganti jika kekasihmu itu sibuk tak bisa mengantarmu, tak bisa menjemputmu, tak bisa menemanimu karna satu dua sebab. Tapi hanya raga yang kugantikan, perasaanmu tidak. Aku terima, aku rela, sebab aku mencinta. Dalam diam, dalam senyap yang bahkan semut pun tak akan mampu mendengar lirih suaraku. Dia adalah bintang, dan kau adalah rasi tempat bintang berlabuh sedang aku hanyalah bulan yang diam diam mencintamu.

Hari berlalu, musim berubah, tahun berganti. Tak ada yang berubah dari rasaku. Pun toples-toples itu tak pernah bocor. Mereka tetap tersimpan rapat, semakin bertambah dan saling betumpukan satu sama lain. Ah, betapa hebat aku menyimpan semuanya. Aku ini adalah penabung ulung. Jika saja yang kutabung itu adalah uang tentu saja sudah mampu membeli apapun yang kumau. Nyatanya aku hanya menabung rindu yang tak kunjung mampu membeli temu.

4 tahun berlalu sejak pertemuan pertama kita yang kutandai sendiri sebagai hari perjanjian ku dengan diriku untuk mencintamu dengan sehebat-hebatnya cinta. Tetiba kau datang padaku, kau ceritakan bahwa kau sudah berpisah dengan kekasihmu yang juga temanku. Ah, disitu aku ingin bersorak gembira seperti seorang bocah yang baru mendapatkan hadiah ulang tahun dari papanya. Tapi kulihat diwajahmu ada sendu, haru biru.

Rasi bintangku meredup sinarnya seperti akan pudar. Bagaimana bisa aku bahagia sedang aku melihatmu terluka. Lagi-lagi kusembunyikan perasaan gembiraku. Kuhibur kau dengan semua celotehan yang kupunya. Ironis sekali memang. Tapi itulah aku. Aku rela melakukan apapun untukmu. Aku bahkan rela diam diam membunuh hatiku. Tapi aku tak rela melihatmu seperti itu.

Saat itu ku merasa ini adalah kesempatan terbaik yang diberikan Tuhan untukku. Aku biarkan semua berjalan sampai kau benar-benar merasa tenang dan baikan. Tuhan sudah memberi sinyal, tinggal menunggu waktu bersekutu. Kita memang sangat dekat, bahkan terlalu dekat untuk dikatakan sebagai sepasang sahabat. Aku terjebak dalam situasi yang tak menguntungkan. Logika telah mengalahkan perasaanku.

Meski Tuhan sudah memberikan celah, meski waktu telah bersedia menjadi sekutu aku tetap lemah dan kalah. Hal yang paling kutakuti bukan cintaku tak terbalas dan perasaanku kandas, bukan. Tapi persahabatan kitalah, aku menginginkan keabadian. Bukan semata menuruti perasaan semata. Aku tak ingin hanya karna egoku malah menghancurkan semuanya. Lagi-lagi aku harus menikam jantungku dan merobeknya hingga sakitpun sudah tak dapat kurasa. Pikirku biarlah hanya Tuhan yang tahu. Aku yakin sesuatu yang datang dari hati akan sampai ke hati. Aku akan menuruti bagaimana Tuhan memainkan peranNya.

Ah, persahabatan ini memang terlalu berharga untuk sekedar ditukar dengan ikatan yang belum pasti. Soal cinta dan perasaan itu urusanku. Biar aku yang menanggungnya sendiri. Pun didunia ini masih banyak toples yang bisa kuisi dengan tabungan rinduku.

Kembali, hari berlalu seperti biasa. Kita tetap berada pada jalan yang sama yang pasti akan berpisah di suatu persimpangan. Meski aku tak mengharapkan itu terjadi tapi aku harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Aku tetap rajin menabung rindu. Aku tetap mencintamu, tetap dalam diam, dalam senyap. Aku tetap menjadi bulan yang dari jauh menginginkan Rasi bintang.

Sampai pada saat itu. Suatu hal yang mengejutkanku. Kau memberi kabar kau akan menikah. Ah, harus berapa kali aku menikam jantungku? Kali ini aku buta, aku tak tahu laki-laki mana yang ingin mempersuntingmu. Aku tak tahu orang seperti apa dia. Didepanmu aku turut berbahagia. Didepanmu aku memberikan semangat dan do’a. Di depanmu aku benar-benar terlihat senang. Di depan toples-toplesku aku meratap, menangis, mengutuk diriku.

Beberapa pekan berlalu aku tak kunjung mendapati kabarmu. Tak ada telpon darimu. Tak ada surat undangan untukku. Rupanya hari itu adalah hari terakhirku berbicara denganmu. Pikirku, oh mungkin kau sudah bahagia dengan bintang barumu. Kau sudah lupa denganku. Baiklah, aku terima. Aku berusaha turut berbahagia meski tak bisa mengatakannya padamu secara langsung. Aku meminta Tuhan untuk selalu menjagamu. Biarlah cintaku kusampaikan pada Tuhan melalui do’a-do’aku untuk kebahagiaanmu.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun aku tak pernah mendapatimu lagi. Aku tak tahu kau seperti apa sekarang, kau bagaimana sekarang. Bahagiakah kau dengan bintangmu. Aku sangat sulit mencarimu. Aku tak bermaksud menggangu rumah tanggamu, mengganggu kisahmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa Rasi Bintangku baik-baik saja dan hidup bahagia. Aku kembali menabung rindu yang tak lagi bertuan. Tetap kujaga baik-baik toples rinduku sebagaimana aku menjaga baik-baik dirimu dan cintaku. Tak ada sesal, tak ada pengandai-andaian. Mencintaimu dalam diam sebagai bulan sudah cukup untukku.

11 tahun aku menabung rindu, 11 tahun aku menyimpan baik-baik rasa yang begitu hebatnya. 11 tahun aku menunggu keinginan yang tak kunjung menemui takdirnya. Kau tahu, sampai detik ini aku sudah mengumpulkan 76 toples yang kutata baik-baik di dinding kamarku. Mereka hadir untuk merekam semua ingatanku tentangmu. Mereka juga hadir untuk menemani ketidakwarasanku atas rindu yang tak pernah bertemu tuannya.

Dan tiba-tiba....

“Ipaang, ya Tuhan kau kemana saja? Lama aku mencarimu.”

“Lyra...”

“Ipang, Aku rinduuu...”

-Selesai-

No comments