Ondel-Ondel 2020: Perekam Tawa Masyarkat Jakarta | Feature
Panas terik mentari Ibu Kota yang membakar kulit hingga
terasa ke tulang bukan lagi suatu hal yang ditakuti oleh sebuah barongan
pengamen Ondel-ondel. Pada sepasang boneka besar merah putih itu mereka
menitipkan harap untuk hari esok lebih baik.
Jalanan adalah sahabat terbaik mereka yang tak pernah
berkhianat. Hanya mata-mata yang tak menginginkan keberadaan mereka yang
menjadi soal. Tapi tak pernah sedikitpun mereka tersinggung dengan tatap
sebelah mata dan celetukan-celetukan yang kerap kali hinggap di telinga. Hidup
harus terus berjalan. Ada perut yang harus terisi, ada harap yang harus
terpenuhi, ada koin yang harus dicari.
Ondel-ondel dengan sejarahnya yang dulu hadir dimasa
sebelum Islam masuk ke jakarta dipercaya oleh para petani Jakarta untuk menolak
bala. Mereka percaya untuk mengusir roh jahat Iblis harus membuat suatu
tandingannya. Yaitu boneka besar merah dengan wajah yang menyeramkan. Pada
perkembangannya Ondel-ondel berubah fungsi tak lagi sebagai sebuah ritual untuk
mengusir bala namun menjadikannya sebuah hiburan dengan wajah yang berubah jadi
lebih bersahabat.
Sepasang boneka besar berwajah merah dan putih itu
mulanya menjadi sebuah ikon Jakarta dan tampil pada perayaan-perayaan besar
atau acara-acara hajatan orang gedongan. Namun tidak bagi Dedi dan mungkin bagi
orang-orang lain yang juga menggunakan Ondel-ondel sebagai alat untuk mengais
rupiah di jalanan. Pasalnya hajatan orang-orang gedongan tak lagi menanggap
Ondel-ondel sebagai suatu yang memeriahkan hajat. Mereka lebih senang dengan hal-hal
yang berbau modern dan kebarat-baratan. Nasib ondel-ondel pun mengalami
dekadensi yang signifikan. Keberadaannya pada acara-acara meriah kini tidak
lagi dipertimbangkan. Dan lalu Dedi dan orang-orang lainnya memanfaatkan
situasi ini untuk tetap menjaga Ondel-ondel tetap eksis meskipun harus turun ke
jalanan mengais uang recehan.
Dedi dan kelompok pengamen ondel-ondel di tahun 2020.
Tahun di masa-masa keemasaan Era Digital dengan semua hal yang serba mudah dan
serba digital nyatanya tak berpengaruh apapun bagi Dedi dan barongannya. 3
anggota barongan Dedi dengan masing-masing yang memiliki fungsi tetap bersuka
ditengah terik matahari melenggak lenggok kesana kemari menarikan boneka besar
yang menjadi pucuk pengharapannya agar perut terisi.
Setiap harinya Dedi bersama ke 3 anggota barongannya
keluar pukul 12.00 siang waktu matahari Jakarta tengah menempati puncak
terpanasnya. Dan akan terus berkeliling jalanan dengan iringan lagu ilir-ilir
dengan nada cempreng yang keluar dari speaker aktif yang memang tak lagi mampu
mengeluarkan suara terbaiknya. Meski demikian itu cukup untuk sebuah iringan
demi meriahnya sebuah tarian sepasang boneka besar itu. Ya, ondel-ondel.
Pukul 5 sore Dedi dan yang lainnya akan kembali ke
pangkalan dan menghitung berapa rupiah receh yang berhasil mereka kumpulkan.
Menyetor sebagian pada pemilik Ondel-ondel dan membagi sisanya untuk mereka
berempat. Sedikit banyak baginya tak peduli. Asalkan bisa makan di siang hari
dan untuk mengisi perut malam yang dingin sudah cukup bagi Dedi dan anggotanya.
120 sampai 150 ribu biasanya receh yang bisa dikumpulkan Dedi dan barongannya.
Jumlah segitu memang terlihat besar jika untuk sendiri.
Dalam perjalan karirnya sebagai Jasa Perekam Tawa
Masyarakat Jakarta Dedi sudah menjalaninya sekitar 9 bulan kebelakang pasca di
PHK nya ia dari sebuah kantor sebagai seorang Pria Kantor (Office Boy). Sulit baginya mendapatkan pekerjaan lagi. Dan
pilihannya jatuh pada sepasang boneka besar berwajah merah yang digadangnya
sepanjang hari dijalanan bersama ketiga anggotanya yang merupakan tetangganya
dan anaknya sendiri yang tinggal di gang Dempet Kelurahan Sunter Jaya.
Dedi sadar bahwa sebenarnya hal ini tidak patut untuk
dilakukan. Selain boneka besarnya itu terkadang menghalangi laju kendaraan di
jalan-jalan sempit Ibu Kota. Ondel-ondel juga merupakan sebuah Icon Jakarta
yang sudah sepatutnya dijaga kelestarian dan dijaga martabatnya. Namun tuturnya
biarlah para petinggi yang kaya saja yang menjaga martabat kebudayaan Jakarta.
Perut kami harus tetap terisi. Begitulah ungkapan hati Dedi seorang pemangku
Ondel-ondel di Era yang katanya serba Digital itu.
Post a Comment